UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
KEMENTERIAN
NEGARA
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
: |
a.
bahwa Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu di bidang
pemerintahan; b.
bahwa setiap
menteri memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu
dalam pemerintahan guna mencapai
tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c.
bahwa sesuai
ketentuan Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur
dalam undang-undang; d.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang Kementerian Negara; |
Mengingat |
: |
Pasal 4, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; |
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG KEMENTERIAN NEGARA.
BAB
I . . .
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Kementerian
Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
2.
Menteri Negara
yang selanjutnya disebut Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin Kementerian.
3.
Urusan Pemerintahan
adalah setiap urusan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
4.
Pembentukan Kementerian
adalah pembentukan Kementerian dengan nomenklatur tertentu setelah Presiden
mengucapkan sumpah/janji.
5.
Pengubahan Kementerian
adalah pengubahan nomenklatur Kementerian dengan cara menggabungkan,
memisahkan, dan/atau mengganti nomenklatur Kementerian yang sudah terbentuk.
6.
Pembubaran Kementerian
adalah menghapus Kementerian yang sudah terbentuk.
KEDUDUKAN DAN
URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
Kementerian berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Pasal 3
Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian
Kedua . . .
Bagian Kedua
Urusan
Pemerintahan
Pasal 4
(1)
Setiap Menteri membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan.
(2)
Urusan tertentu
dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
urusan
pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
urusan
pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; dan
c.
urusan
pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program
pemerintah.
Pasal 5
(1)
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf a meliputi urusan luar
negeri, dalam negeri, dan pertahanan.
(2)
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf b meliputi urusan agama,
hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan,
kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan,
energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi,
pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
(3)
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf c meliputi urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur
negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan,
kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi,
koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda,
olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau
Pasal
6 . . .
daerah
tertinggal.
Pasal 6
Setiap urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) tidak harus dibentuk dalam satu Kementerian
tersendiri.
BAB III
TUGAS, FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 7
Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara.
Bagian Kedua
Fungsi
(1)
Dalam
melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan,
penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
b.
pengelolaan
barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c.
pengawasan atas
pelaksanaan tugas di bidangnya; dan
d.
pelaksanaan
kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
(2)
Dalam
melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan,
penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
b.
pengelolaan
barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c.
d.
pelaksanaan . . .
pengawasan atas
pelaksanaan tugas di bidangnya;
d.
pelaksanaan
bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian di daerah;
dan
e.
pelaksanaan kegiatan teknis yang
berskala nasional.
(3)
Dalam
melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) menyelenggarakan fungsi:
a.
perumusan dan
penetapan kebijakan di bidangnya;
b.
koordinasi dan
sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya;
c.
pengelolaan
barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan
d.
pengawasan atas
pelaksanaan tugas di bidangnya.
Bagian Ketiga
Susunan Organisasi
(1)
Susunan
organisasi Kementerian yang menangani urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) terdiri atas unsur:
a.
pemimpin, yaitu Menteri;
b.
pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
c.
pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal;
d.
pengawas, yaitu inspektorat jenderal;
e.
pendukung, yaitu badan dan/atau pusat; dan
f.
pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar
negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Susunan organisasi Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri atas unsur:
a.
pemimpin, yaitu Menteri;
b.
pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
c.
pelaksana, yaitu direktorat jenderal;
d.
pengawas, yaitu inspektorat jenderal; dan
e.
(3)
Kementerian . . .
pendukung, yaitu
badan dan/atau pusat.
(3)
Kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan,
dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) juga memiliki unsur pelaksana
tugas pokok di daerah.
(4)
Susunan organisasi Kementerian yang melaksanakan urusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) terdiri atas unsur:
a.
pemimpin, yaitu Menteri;
b.
pembantu pemimpin, yaitu sekretariat Kementerian;
c.
pelaksana, yaitu deputi; dan
d.
pengawas, yaitu inspektorat.
Pasal 10
Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan
penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada
Kementerian tertentu.
Pasal 11
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi Kementerian diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB IV
PEMBENTUKAN,
PENGUBAHAN, DAN PEMBUBARAN KEMENTERIAN
Bagian Kesatu
Pembentukan Kementerian
Pasal 12
Presiden
membentuk Kementerian luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 13
(1)
(2)
Pembentukan . . .
Presiden
membentuk Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3).
(2)
Pembentukan Kementerian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan:
a.
efisiensi
dan efektivitas;
b.
cakupan tugas
dan proporsionalitas beban tugas;
c.
kesinambungan,
keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau
d.
perkembangan lingkungan
global.
Pasal 14
Untuk
kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan Kementerian, Presiden dapat
membentuk Kementerian koordinasi.
Pasal 15
Jumlah
keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan
Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat).
Pasal 16
Pembentukan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
Presiden mengucapkan sumpah/janji.
Bagian Kedua
Pengubahan Kementerian
Pasal 17
Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak
dapat diubah oleh Presiden.
Pasal 18
(1)
(2)
Pengubahan . . .
Kementerian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat diubah oleh Presiden.
(2)
Pengubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a.
efisiensi dan
efektivitas;
b.
perubahan
dan/atau perkembangan tugas dan fungsi;
c.
cakupan tugas
dan proporsionalitas beban tugas;
d.
kesinambungan,
keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas;
e.
peningkatan
kinerja dan beban kerja pemerintah;
f.
kebutuhan
penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri; dan/atau
g.
kebutuhan
penyesuaian peristilahan yang berkembang.
Pasal 19
(1)
Pengubahan
sebagai akibat pemisahan atau penggabungan Kementerian dilakukan dengan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)
Pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 7 (tujuh)
hari kerja sejak surat Presiden diterima.
(3)
Apabila dalam
waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Dewan Perwakilan
Rakyat belum menyampaikan pertimbangannya, Dewan Perwakilan Rakyat dianggap
sudah memberikan pertimbangan.
Bagian Ketiga
Pembubaran Kementerian
Kementerian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 tidak dapat dibubarkan oleh Presiden.
Pasal
21 . . .
Pasal 21
Kementerian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat dibubarkan oleh Presiden dengan
meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, kecuali Kementerian yang
menangani urusan agama, hukum, keuangan,
dan keamanan harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
BAB V
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 22
(1)
Menteri diangkat
oleh Presiden.
(2)
Untuk dapat
diangkat menjadi Menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan:
a.
warga negara
Indonesia;
b.
bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa;
c.
setia kepada
Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan;
d.
sehat jasmani
dan rohani;
e.
memiliki integritas
dan kepribadian yang baik; dan
f.
tidak pernah
dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
Pasal 23
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a.
pejabat negara
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b.
c.
pimpinan . . .
komisaris atau
direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
c.
pimpinan
organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah.
Bagian Kedua
Pemberhentian
Pasal 24
(1)
Menteri berhenti
dari jabatannya karena:
a.
meninggal dunia;
atau
b.
berakhir masa
jabatan.
(2)
Menteri
diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden karena:
a.
mengundurkan
diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
b.
tidak dapat
melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut;
c.
dinyatakan
bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih;
d.
melanggar
ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; atau
e.
alasan lain yang
ditetapkan oleh Presiden.
(3)
Presiden
memberhentikan sementara Menteri yang didakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
BAB VI
HUBUNGAN FUNGSIONAL KEMENTERIAN DAN
LEMBAGA PEMERINTAH NONKEMENTERIAN
Pasal 25
(1)
(2)
Lembaga . . .
Hubungan fungsional
antara Kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian dilaksanakan secara
sinergis sebagai satu sistem pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Lembaga pemerintah
nonkementerian berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri yang mengoordinasikan.
(3)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai hubungan fungsional antara Menteri dan lembaga pemerintah nonkementerian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Presiden.
BAB VII
HUBUNGAN KEMENTERIAN
DENGAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 26
Hubungan antara Kementerian dan pemerintah daerah dilaksanakan dalam
kerangka sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah sesuai peraturan
perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya
Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya Kementerian
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
. . .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal 6 Nopember
2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Nopember 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 166
Salinan sesuai
dengan aslinya SEKRETARIAT
NEGARA RI Kepala Biro
Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik
dan Kesejahteraan Rakyat, Wisnu Setiawan |
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
KEMENTERIAN NEGARA
I. UMUM
Penyelenggara negara mempunyai peran yang penting dalam
mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan negara adalah untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, sejak
proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah Negara Republik
Indonesia bertekad menjalankan fungsi pemerintahan negara ke arah tujuan yang
dicita-citakan.
Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
Menteri-menteri negara tersebut membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan yang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementeriannya diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 17 ini
menegaskan bahwa kekuasaan Presiden tidak tak terbatas karenanya dikehendaki
setiap pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara haruslah
berdasarkan undang-undang.
Undang-undang ini sama sekali tidak mengurangi apalagi
menghilangkan hak Presiden dalam menyusun kementerian negara yang akan membantunya
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Sebaliknya, undang-undang ini
justru dimaksudkan untuk memudahkan
Presiden dalam menyusun kementerian negara karena secara jelas dan tegas
mengatur kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara.
Pengaturan
. . .
Pengaturan mengenai kementerian negara tidak didekati
melalui pemberian nama tertentu pada setiap kementerian. Akan tetapi,
undang-undang ini melakukan pendekatan melalui urusan-urusan pemerintahan yang
harus dijalankan Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan
negara. Urusan-urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang
nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi
program pemerintah.
Dalam melaksanakan urusan-urusan tersebut tidak berarti
satu urusan dilaksanakan oleh satu kementerian. Akan tetapi satu kementerian
bisa melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai dengan tugas yang diberikan
oleh Presiden.
Undang-undang ini juga mengatur tentang
persyaratan pengangkatan dan pemberhentian menteri. Pengaturan persyaratan
pengangkatan menteri tidak dimaksudkan untuk membatasi hak Presiden dalam
memilih seorang Menteri, sebaliknya menekankan bahwa seorang Menteri yang
diangkat memiliki integritas dan kepribadian yang baik. Namun demikian Presiden
diharapkan juga memperhatikan kompetensi dalam bidang tugas kementerian,
memiliki pengalaman kepemimpinan, dan sanggup bekerjasama sebagai pembantu
Presiden.
Undang-undang ini disusun dalam rangka membangun sistem
pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada
peningkatan pelayanan publik yang prima. Oleh karena itu, menteri dilarang
merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris dan direksi pada
perusahaan, dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan diharapkan
seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk
jabatan dalam partai politik. Kesemuanya itu dalam rangka meningkatkan
profesionalisme, pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas
pokok dan fungsinya yang lebih bertanggung jawab.
Undang-undang ini juga dimaksudkan untuk melakukan
reformasi birokrasi dengan membatasi jumlah kementerian paling banyak 34 (tiga
puluh empat). Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan melebihi jumlah
tersebut dan diharapkan akan terjadi pengurangan.
II.
PASAL . . .
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan ”berada di bawah” dalam ketentuan
ini adalah kedudukan kementerian dalam struktur pemerintahan.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup
jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf
d
Pelaksanaan urusan kementerian di daerah yang dimaksud
adalah kegiatan teknis yang berskala provinsi/kabupaten/kota yang dilaksanakan
oleh dinas provinsi/kabupaten/kota
disertai penyerahan keuangannya.
Huruf
e . . .
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Kementerian yang menangani urusan tertentu dapat
membentuk perwakilan di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud
dengan “Wakil Menteri” adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota
kabinet.
Pasal 11
Cukup
jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Pasal
19 . . .
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Menteri dalam ketentuan ini adalah pejabat negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dan
telah mendapatkan rehabilitasi dikecualikan dari ketentuan ini.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal
27 . . .
Pasal 27
Nomenklatur kementerian yang berlaku selama ini, seperti
Departemen dan Kementerian Negara, diakui berdasarkan undang-undang ini dan
tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya kementerian
berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4916