UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 48 TAHUN 2009
TENTANG
KEKUASAAN KEHAKIMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan;
b.
bahwa untuk
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem
peradilan yang terpadu;
c.
bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal
24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan
Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
dan
PRESIDEN
REPUBLIK
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN.
BABI
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik
2.
Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.
Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4.
Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
5. Hakim
adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
6.
Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung.
7.
Hakim Konstitusi adalah hakim pada
Mahkamah Konstitusi.
8.
Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
yang diatur dalam undang-undang.
9.
Hakim ad hoc adalah hakim
yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di
bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur
dalam undangundang.
BAB II
ASAS PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 2
(1) Peradilan dilakukan "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(2)
Peradilan negara
menerapkan dan menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila.
(3)
Semua peradilan di seluruh wilayah
negara Republik
(4) Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 3
(1) Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga
kemandirian peradilan.
(2)
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam
hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(3) Setiap
orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
(2) Pengadilan membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 5
(1) Hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2) Hakim dan hakim
konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
jujur, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum.
(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib
menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 6
(1) Tidak
seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang
menentukan lain.
(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi
pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Pasal
7
Tidak seorang
pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah
tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Pasal
8
(1)
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum
ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,
hakim wajib memperhatikan pula sifat yang
baik dan jahat dari terdakwa.
Pasal
9
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut,
atau diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur
dalam undang-undang.
Pasal
10
(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara
perdata secara perdamaian.
Pasal
11
(1) Pengadilan
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan
susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali
undang-undang menentukan lain.
(2)
Susunan hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.
(3)
Hakim dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan
panitera.
(4)
Dalam perkara
pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal
12
(1) Pengadilan
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dengan kehadiran terdakwa, kecuali undangundang menentukan lain.
(2) Dalam
hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri
terdakwa.
Pasal
13
(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah
terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain.
(2)
Putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(3)
Tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Pasal
14
(1) Putusan
diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
(2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari putusan.
(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat
dalam putusan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Pasal
15
Pengadilan
wajib saling memberi bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan.
Pasal
16
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum
dan lingkungan peradilan
militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara
itu harus diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
Pasal
17
(1) Pihak yang diadili mempunyai hak
ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.
(2)
Hak ingkar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap
seorang hakim yang mengadili perkaranya.
(3)
Seorang hakim
wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan
suami atau istri meskipun telah bercerai,
dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau
panitera.
(4)
Ketua majelis, hakim anggota, jaksa,
atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai
dengan pihak yang diadili atau advokat.
(5)
Seorang hakim
atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung
atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas
kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
(6)
Dalam hal terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak
sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan
dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
(7) Perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa
kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
BAB III
PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 19
Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman
yang diatur dalam undangundang.
Bagian Kedua
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahny a
Pasal 20
(1) Mahkamah
Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di
dalam keempat lingkungan peradilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2) Mahkamah
Agung berwenang:
a.
mengadili pada tingkat kasasi
terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
b. menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c. kewenangan
lainnya yang diberikan undang-undang.
(3) Putusan
mengenai tidak sahnya peraturan perundangundangan sebagai hasil pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diambil baik berhubungan
dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
Pasal 21
(1) Organisasi,
administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2) Ketentuan
mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan
kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Pasal 22
(1) Mahkamah Agung dapat
memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan
lembaga pemerintahan.
(2) Ketentuan mengenai pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan diatur
dalam undang-undang.
Pasal
23
Putusan pengadilan dalam tingkat banding
dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal
24
(1) Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan
tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
(2) Terhadap
putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Pasal
25
(1) Badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
(2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
(4)
Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa
tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Putusan pengadilan tingkat pertama
dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Putusan
pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari
segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain
Pasal 27
(1) Pengadilan
khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
(2) Ketentuan
mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.
Pasal 28
Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah
Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dalam
undang-undang.
Bagian Ketiga
Mahkamah Konstitusi
Pasal 29
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a.
menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.
memutus
pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum; dan
e. kewenangan
lain yang diberikan oleh undang-undang.
(2)
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden dan1atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan1atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(3)
Susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
(4)
Organisasi,
administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi
berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
BAB
IV
PENGANGKATAN
DAN PEMBERHENTIAN HAKIM DAN HAKIM KONSTITUSI
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Hakim dan Hakim Konstitusi
Pasal
30
(1) Pengangkatan hakim agung berasal
dari hakim karier dan nonkarier.
(2)
Pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial.
(3)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dalam undang-undang.
Pasal 31
(1) Hakim
pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pej abat negara yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
(2) Hakim sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat merangkap jabatan,
kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal
32
(1) Hakim ad
hoc dapat diangkat pada pengadilan khusus untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu dalam
jangka waktu tertentu.
(2) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam undang-undang.
Pasal
33
Untuk dapat
diangkat sebagai hakim konstitusi, seseorang harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela;
b.
adil; dan
c.
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Pasal 34
(1) Hakim
konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah
Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.
(2) Pencalonan hakim
konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.
(3)
Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara objektif dan akuntabel.
Pasal 35
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Hakim
Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Bagian Kedua
Pemberhentian Hakim dan Hakim Konstitusi
Pasal 36
Hakim
dan hakim konsitusi dapat diberhentikan apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam undangundang.
Pasal
37
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian
hakim dan hakim konsitusi diatur dalam undang-undang.
BABV
BADAN-BADAN LAIN YANG FUNGSINYA BERKAITAN DENGAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 38
(1) Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi,
terdapat badanbadan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman.
(2) Fungsi yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
penyelidikan dan penyidikan;
b.
penuntutan;
c.
pelaksanaan putusan;
d.
pemberian jasa hukum; dan
e. penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.
(3) Ketentuan mengenai badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang.
BAB VI
PENGAWASAN HAKIM DAN HAKIM KONSTITUSI
Pasal 39
(1) Pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
(2)
Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan.
(3) Pengawasan
internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(4) Pengawasan
dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
Pasal 40
(1) Dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan
pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap
perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 41
(1) Dalam melaksanakan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40, Komisi Yudisial dan/atau
Mahkamah Agung wajib:
a.
menaati norma dan peraturan perundang-undangan;
b.
berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim; dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang
diperoleh.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara.
(3) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
(4) Ketentuan
mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 dan Pasal 40 diatur dalam undangundang.
Pasal
42
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, Komisi Yudisial dapat
menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk
melakukan mutasi hakim.
Pasal
43
Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diperiksa oleh
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.
Pasal 44
(1) Pengawasan hakim konstitusi
dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
(4) Pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
BAB VII
PEJABAT PERADILAN
Pasal 45
Selain hakim, pada Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya dapat diangkat panitera, sekretaris, dan/atau juru sita.
Pasal 46
Panitera tidak boleh merangkap menjadi:
a. hakim;
b. wali;
c. pengampu;
d. advokat; dan/atau
e. pejabat peradilan yang lain.
Pasal
47
Ketentuan
mengenai pengangkatan dan pemberhentian panitera,
sekretaris, dan juru sita
serta tugas dan fungsinya diatur dalam undang-undang.
BAB VIII
JAMINAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN HAKIM
Pasal 48
(1) Negara memberikan jaminan keamanan
dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi
dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
(5) Jaminan keamanan dan kesejahteraan
hakim dan hakim konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
(1) Hakim ad
hoc dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman diberikan tunjangan khusus.
(2) Tunjangan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.
BAB IX
PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 50
(1) Putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal
tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan harus
ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta
bersidang.
Pasal 51
Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan,
dan berita acara pemeriksaan sidang
ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.
Pasal
52
(1) Pengadilan
wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang
berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan.
(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu yang ditentukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam perkara
pidana, putusan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan kepada instansi yang terkait dengan
pelaksanaan putusan.
Pasal
53
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang
dibuatnya.
(2) Penetapan dan
putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar
hukum yang tepat dan benar.
BABX
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 54
(1) Pelaksanaan putusan pengadilan
dalam perkara pidan dilakukan oleh jaksa.
(2)
Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdat
dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketu pengadilan.
(3)
Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan
nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pasal 55
(1) Ketua pengadilan wajib mengawasi
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Pengawasan
pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
BAB
XI
BANTUAN HUKUM
Pasal 56
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara
berhak memperoleh bantuan hukum.
(2) Negara
menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
Pasal 57
(1) Pada setiap
pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam
memperoleh bantuan hukum.
(2)
Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan
sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3)
Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN
Pasal 58
Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat
dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa.
Pasal 59
(1) Arbitrase merupakan cara
penyelesaian suatu sengket perdata di luar
pengadilan yang didasarkan pad perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh par pihak yang bersengketa.
(2)
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak.
(3) Dalam
hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah
satu pihak yang bersengketa.
Pasal 60
(1) Alternatif penyelesaian sengketa
merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
(2)
Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam kesepakatan
tertulis.
(3) Kesepakatan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad
baik.
Pasal
61
Ketentuan mengenai arbitrase dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal
59, dan Pasal 60 diatur dalam undang-undang.
BAB
XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 62
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
63
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan yang merupakan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal
64
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakart
pada tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2009 NOMOR 157
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK
NOMOR 48 TAHUN 2009
TENTANG
KEKUASAAN
KEHAKIMAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa
perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Perubahan tersebut antara lain menegaskan
bahwa:
- kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
- Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
- Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji
undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Komisi
Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pada
dasarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah
sesuai dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
di atas, namun substansi Undang-Undang tersebut
belum mengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Selain
pengaturan secara komprehensif , Undang-Undang ini juga untuk memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU/2006,
yang salah satu amarnya telah membatalkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
juga telah membatalkan ketentuan yang terkait dengan pengawasan hakim
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Sehubungan
dengan hal tersebut, sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dan mewujudkan sistem peradilan terpadu
(integrated justice system), maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
perlu diganti.
Hal-hal penting
dalam Undang-Undang ini antara lain sebagai berikut:
a. Mereformulasi
sistematika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait
dengan pengaturan secara komprehensif dalam
Undang-Undang ini, misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman.
b. Pengaturan umum mengenai pengawasan
hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
c. Pengaturan umum
mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi.
d. Pengaturan
mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tertentu yang hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung.
e. Pengaturan
mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki
keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara.
f.
Pengaturan umum
mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
di luar pengadilan.
g.
Pengaturan umum
mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang
tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan.
h. Pengaturan umum
mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi.
II. PASAL DEMI
PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG
MAHA ESA" adalah sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menentukan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan "sederhana" adalah pemeriksaan dan penyelesaian
perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif.
Yang dimaksud dengan "biaya ringan"
adalah biaya perkara yang dapat dijangkau
oleh masyarakat.
Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan
biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak
mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Pasal
3
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan
"kemandirian peradilan" adalah bebas dari campur tangan pihak luar
dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis.
Ayat
(2)
Cukup
jelas. Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal
4
Cukup
jelas.
Pasal
5
Ayat
(1)
Ketentuan ini
dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
6
Cukup
jelas.
Pasal
7
Yang dimaksud dengan "kekuasaan
yang sah" adalah aparat penegak hukum yang berwenang melakukan
penyelidikan dan penyidikan berdasarkan
undang-undang. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan ini termasukjuga
di dalamnya penyadapan.
Pasal
8
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Dalam menentukan berat ringannya pidana yang
akan dijatuhkan, hakim wajib memperhatikan sifat baik
atau sifat jahat
dari terdakwa sehingga
putusan yang dijatuhkan sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya.
Pasal
9
Ayat
(1)
Yang dimaksud
dengan "rehabilitasi" adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan
semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
10
Cukup
jelas.
Pasal
11
Cukup
jelas.
Pasal
12
Ayat
(1)
Ketentuan
ini berlaku bagi pengadilan tingkat pertama.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
13
Cukup
jelas.
Pasal
14
Cukup
jelas.
Pasal
15
Saling memberi bantuan dilakukan
antara lain dalam hal administrasi berkas
perkara, inventarisasi putusan pengadilan dan penggunaan sumber daya
manusia.
Pasal
16
Yang
dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak
pidana tersebut. Jika titik
berat kerugian terletak pada
kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan
peradilan militer, namun jika titik berat kerugian
tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili
oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Pasal
17
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Ayat
(5)
Yang dimaksud dengan "kepentingan langsung
atau tidak langsung" adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut
pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan
yang bersangkutan sebelumnya.
Ayat
(6)
Cukup jelas.
Ayat
(7)
Yang dimaksud dengan "berbeda" dalam
ketentuan ini adalah majelis hakim yang tidak terikat
dengan ketentuan pada ayat (5).
Pasal
18
Cukup
jelas.
Pasal
19
Cukup
jelas.
Pasal
20
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Huruf
a
Cukup jelas.
Huruf
b
Ketentuan ini mengatur mengenai hak uji
Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah dari undang-undang. Hak
uji dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan1atau
bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Huruf c
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas. Pasal 22
Cukup jelas. Pasal 23
Cukup jelas. Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hal atau keadaan
tertentu" antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau
adanya kekhilafan atau
kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya
Ayat (2)
Cukup jelas. Pasal
25
Cukup jelas. Pasal
26
Cukup jelas.
Pasal
27
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan "pengadilan
khusus" antara lain adalah pengadilan
anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak
pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang
berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di
lingkungan peradilan tata usaha negara.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
28
Cukup
jelas.
Pasal
29
Ayat
(1)
Huruf
a
Cukup
jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa,
dan memutus sengketa
hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas. Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
30
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan "hakim
karier" adalah hakim yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah
Agung.
Yang dimaksud dengan "hakim nonkarier"
adalah hakim yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal
31
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang dimaksud dengan "merangkap
jabatan" antara lain:
a. wali, pengampu,
dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya;
b. pengusaha; dan
c. advokat.
Dalam hal Hakim yang merangkap
sebagai pengusaha antara lain Hakim yang merangkap sebagai direktur perusahaan,
menjadi pemegang saham perseroan atau mengadakan usaha perdagangan lain.
Pasal
32
Ayat
(1)
Yang
dimaksud "dalam jangka waktu tertentu" adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Tujuan
diangkatnya hakim ad hoc adalah
untuk membantu penyelesaian perkara yang
membutuhkan keahlian khusus misalnya kejahatan perbankan, kejahatan
pajak, korupsi, anak, perselisihan hubungan industrial, telematika (cyber crime).
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
33
Cukup
jelas.
Pasal
34
Cukup
jelas.
Pasal
35
Cukup
jelas.
Pasal
36
Cukup
jelas.
Pasal
37
Cukup
jelas.
Pasal
38
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan "badan-badan lain" antara lain kepolisian,
kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengawasan tertinggi" adalah meliputi pengawasan internal Mahkamah Agung terhadap semua
badan peradilan yang berada di bawahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal
41
Cukup
jelas.
Pasal
42
Yang dimaksud
dengan "mutasi" dalam ketentuan ini meliputi juga promosi dan demosi.
Pasal
43
Cukup
jelas.
Pasal
44
Cukup
jelas.
Pasal
45
Cukup
jelas.
Pasal
46
Huruf
a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Yang dimaksud dengan "pejabat peradilan yang lain" adalah
sekretaris, wakil sekretaris, wakil panitera, panitera pengganti, juru sita,
juru sita pengganti, dan pejabat struktural lainnya.
Pasal
47
Cukup
jelas.
Pasal
48
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan "jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya" adalah
hakim dan hakim konstitusi diberikan penjagaan keamanan
dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim dan hakim konstitusi harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat
terkait yakni aparat kepolisian
agar hakim dan
hakim konstitusi mampu memeriksa, mengadili dan
memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari
pihak manapun. Jaminan kesejahteraan meliputi gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, dan pensiun serta hak
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
49
Cukup
jelas.
Pasal
50
Cukup
jelas.
Pasal
51
Cukup
jelas.
Pasal
52
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "instansi
yang terkait" antara lain lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, dan
kejaksaan.
Dalam hal salin an putusan tidak
disampaikan, ketua pengadilan yang
bersangkutan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dari
Ketua Mahkamah Agung.
Pasal
53
Cukup jelas.
Pasal
54
Cukup
jelas.
Pasal
55
Cukup jelas.
Pasal
56
Ayat
(1)
Yang dimaksud dengan "bantuan
hukum" adalah pemberian jasa hukum (secara cuma-cuma) yang meliputi
pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan
pencari keadilan (yang tidak mampu).
Ayat
(2)
Yang dimaksud
dengan "pencari keadilan yang tidak mampu" adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang
secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum untuk menangani dan
menyelesaikan masalah hukum.
Pasal
57
Cukup
jelas. Pasal 58
Cukup
jelas.
Pasal
59
Ayat
(1)
Yang dimaksud
dengan "arbitrase" dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
60
Cukup
jelas. Pasal 61
Cukup
jelas. Pasal 62
Cukup
jelas. Pasal 63
Cukup
jelas. Pasal 64
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK