PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2010
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA
TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
: |
a.
bahwa dengan
diundangkannya Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu diganti; b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; |
Mengingat |
: |
1.
Pasal 5 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; 2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4721); 4.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4801); 5.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5009); 6.
Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5043); |
MEMUTUSKAN: |
||
Menetapkan |
: |
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN
PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH. |
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat
DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Pimpinan DPRD adalah ketua dan wakil ketua DPRD.
3. Kepala daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota.
4. Wakil kepala daerah adalah wakil gubernur, wakil bupati,
atau wakil walikota.
5. Anggota DPRD adalah anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten,
atau anggota DPRD kota.
6. Kode etik DPRD, selanjutnya disebut kode etik, adalah
norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota DPRD selama menjalankan tugasnya
untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya
disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah.
8. Hari
adalah hari kerja.
BAB II
FUNGSI, TUGAS,
DAN WEWENANG
Bagian Kesatu
Fungsi
Pasal 2
(1)
DPRD mempunyai
fungsi:
a.
legislasi;
b.
anggaran; dan
c.
pengawasan.
(2)
Fungsi legislasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a diwujudkan dalam membentuk peraturan daerah bersama
kepala daerah.
(3)
Fungsi
anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diwujudkan dalam membahas
dan menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama kepala
daerah.
(4)
Fungsi
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diwujudkan dalam
mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan APBD.
(5)
Ketiga fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi
rakyat di daerah.
Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 3
DPRD mempunyai tugas dan wewenang:
a. membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah;
b.
membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai APBD
yang diajukan oleh kepala daerah;
c.
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD;
d.
mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD
provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi DPRD
kabupaten/kota, untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau
pemberhentian;
e.
memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil
kepala daerah;
f.
memberikan pendapat dan
pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional
di daerah;
g.
memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan
oleh pemerintah daerah;
h.
meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i.
memberikan persetujuan terhadap
rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani
masyarakat dan daerah;
j. mengupayakan
terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
KEANGGOTAAN
Pasal 4
(1) Keanggotaan DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan
Menteri Dalam Negeri sesuai dengan laporan komisi pemilihan umum provinsi yang
disampaikan melalui gubernur.
(2) Keanggotaan DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan
keputusan gubernur sesuai dengan laporan komisi pemilihan umum kabupaten/kota
yang disampaikan melalui bupati/walikota.
(3) Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 (lima) tahun terhitung
mulai tanggal pengucapan sumpah/janji anggota DPRD dan berakhir pada saat
anggota DPRD yang baru mengucapkan sumpah/janji.
(4) Anggota DPRD yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji secara
bersama-sama bertepatan pada tanggal berakhirnya masa jabatan 5 (lima) tahun
anggota DPRD yang lama.
(5) Dalam hal terdapat anggota DPRD yang baru tidak dapat
mengucapkan sumpah/janji bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan 5 (lima)
tahun anggota DPRD yang lama, masa jabatan anggota DPRD dimaksud berakhir
bersamaan dengan masa jabatan anggota DPRD yang mengucapkan sumpah/janji secara
bersama-sama.
(6) Dalam hal tanggal berakhirnya masa jabatan
anggota DPRD jatuh pada hari libur atau hari yang diliburkan, pengucapan
sumpah/janji dilaksanakan hari berikutnya sesudah hari libur atau hari yang
diliburkan dimaksud.
Pasal 5
(1) Anggota DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya,
mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang
dipandu oleh ketua pengadilan tinggi dalam rapat paripurna istimewa DPRD provinsi.
(2) Dalam hal ketua pengadilan tinggi berhalangan, pengucapan
sumpah/janji anggota DPRD provinsi dipandu oleh wakil ketua pengadilan tinggi.
(3) Dalam hal wakil ketua pengadilan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berhalangan, pengucapan sumpah/janji anggota DPRD
provinsi dipandu oleh hakim senior pada pengadilan tinggi yang ditunjuk oleh
ketua pengadilan tinggi.
(4) Anggota DPRD kabupaten/kota sebelum memangku
jabatannya, mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh
ketua pengadilan negeri dalam rapat paripurna istimewa DPRD kabupaten/kota.
(5) Dalam hal ketua pengadilan negeri berhalangan, pengucapan
sumpah/janji anggota DPRD kabupaten/kota dipandu oleh wakil ketua pengadilan
negeri.
(6) Dalam hal wakil ketua pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) berhalangan, pengucapan sumpah/janji anggota DPRD
kabupaten/kota dipandu oleh hakim senior pada pengadilan negeri yang ditunjuk
oleh ketua pengadilan negeri.
Pasal 6
(1) Anggota DPRD yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (4), yang bersangkutan mengucapkan sumpah/janji dipandu oleh ketua
atau wakil ketua DPRD dalam rapat paripurna istimewa DPRD.
(2) Anggota DPRD pengganti antarwaktu sebelum memangku
jabatannya, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh ketua atau wakil ketua
DPRD dalam rapat paripurna istimewa DPRD.
(3) Anggota DPRD pada daerah otonom baru yang belum mempunyai
pengadilan tinggi atau pengadilan negeri mengucapkan sumpah/janji yang dipandu
oleh ketua atau wakil ketua pengadilan tinggi atau pengadilan negeri pada
daerah induk.
Pasal 7
(1) Pengucapan sumpah/janji anggota DPRD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan Pasal 6, didampingi oleh rohaniawan sesuai dengan agamanya
masing-masing.
(2) Dalam pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), anggota DPRD yang beragama:
a.
Islam, diawali
dengan frasa “Demi Allah”;
b.
Protestan dan
Katolik, diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong saya”;
c.
Budha,
diawali dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”; dan
d.
Hindu, diawali
dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”.
(3) Setelah mengakhiri pengucapan sumpah/janji, anggota DPRD
menandatangani berita acara pengucapan sumpah/janji.
Pasal 8
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sebagai
berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai
anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
provinsi/kabupaten/kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja
dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan
golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya
wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.”
BAB IV
PELAKSANAAN HAK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
DPRD mempunyai hak:
a. interpelasi;
b.
angket; dan
c.
menyatakan pendapat.
Pasal 10
Anggota DPRD mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah;
b.
mengajukan pertanyaan;
c.
menyampaikan usul dan pendapat;
d.
memilih dan dipilih;
e.
membela diri;
f.
imunitas;
g.
mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h.
protokoler; dan
i.
keuangan dan administratif.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Hak DPRD
Paragraf 1
Hak Interpelasi
Pasal 11
(1)
Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diusulkan oleh:
a.
paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1
(satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang
sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b.
paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1
(satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh
lima) orang;
c.
paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1
(satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) orang sampai dengan 35
(tiga puluh lima) orang;
d.
paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1
(satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2)
Usul sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pimpinan DPRD, yang ditandatangani
oleh para pengusul dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD.
(3)
Usul sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a.
materi kebijakan
dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang akan dimintakan
keterangan; dan
b.
alasan
permintaan keterangan.
Pasal 12
(1)
Usul sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 oleh pimpinan DPRD disampaikan pada rapat paripurna
DPRD.
(2)
Dalam rapat
paripurna DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pengusul diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan lisan atas usul permintaan keterangan tersebut.
(3)
Pembicaraan
mengenai usul meminta keterangan dilakukan dengan memberi kesempatan kepada:
a.
anggota DPRD
lainnya untuk memberikan pandangan melalui fraksi; dan
b.
para pengusul memberikan jawaban atas pandangan para
anggota DPRD.
(4)
Keputusan
persetujuan atau penolakan terhadap usul permintaan keterangan kepada kepala
daerah ditetapkan dalam rapat paripurna.
(5)
Usul permintaan
keterangan DPRD sebelum memperoleh keputusan, para pengusul berhak menarik
kembali usulannya.
(6)
Usul sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 menjadi hak interpelasi DPRD apabila mendapat
persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu
perdua) jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari
1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD yang hadir.
Pasal 13
(1)
Kepala daerah
dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap permintaan keterangan
anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dalam rapat paripurna DPRD.
(2)
Apabila kepala
daerah tidak dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepala daerah menugaskan pejabat terkait untuk
mewakilinya.
(3)
Setiap anggota
DPRD dapat mengajukan pertanyaan atas penjelasan tertulis kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Terhadap penjelasan
tertulis kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD dapat
menyatakan pendapatnya.
(5)
Pernyataan
pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara resmi oleh DPRD
kepada kepala daerah.
(6)
Pernyataan
pendapat DPRD atas penjelasan tertulis kepala daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), dijadikan bahan untuk DPRD dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan
untuk kepala daerah dijadikan bahan dalam penetapan pelaksanaan kebijakan.
Paragraf 2
Hak Angket
Pasal 14
(1)
Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diusulkan oleh:
a.
paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1
(satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang
sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang;
b.
paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1
(satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh
lima) orang;
c.
paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1
(satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) orang
sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
d.
paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1
(satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2)
Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pimpinan DPRD,
yang ditandatangani oleh para pengusul dan diberikan nomor pokok oleh
sekretariat DPRD.
(3)
Usul sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a.
materi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (3) atau Pasal 349 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
dan
b.
alasan
penyelidikan.
Pasal 15
(1)
Pembicaraan mengenai usul penggunaan hak angket, dilakukan dengan
memberikan kesempatan kepada anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan
melalui fraksi dan selanjutnya pengusul memberikan jawaban atas pandangan
anggota DPRD.
(2)
Keputusan atas usul melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dapat
disetujui atau ditolak, ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD.
(3)
Usul melakukan
penyelidikan sebelum memperoleh Keputusan DPRD, pengusul berhak menarik kembali
usulnya.
(4)
Apabila usul melakukan penyelidikan disetujui sebagai permintaan
penyelidikan, DPRD menyatakan pendapat untuk melakukan penyelidikan dan
menyampaikannya secara resmi kepada kepala daerah.
(5)
Usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 menjadi hak angket DPRD apabila
mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
Pasal 16
(1)
DPRD memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 huruf b.
(2)
Dalam hal DPRD menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
DPRD membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD dengan
keputusan DPRD.
(3)
Dalam hal DPRD menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 17
(1)
Panitia
angket DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dalam
melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b dapat
memanggil pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di
provinsi yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki
untuk memberikan keterangan serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen
yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(2)
Panitia
angket DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dalam
melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b dapat
memanggil pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat
di kabupaten/kota yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang
diselidiki untuk memberikan keterangan serta untuk meminta menunjukkan surat
atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(3)
Pejabat
pemerintah daerah, badan hukum, atau warga masyarakat di
provinsi/kabupaten/kota yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) wajib memenuhi panggilan DPRD, kecuali ada alasan yang sah menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Dalam
hal pejabat pemerintah daerah, badan hukum, atau warga masyarakat di
provinsi/kabupaten/kota telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut
tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPRD dapat
memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1)
Apabila hasil
penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diterima oleh DPRD dan
ada indikasi tindak pidana, DPRD menyerahkan penyelesaiannya kepada aparat
penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Apabila hasil
penyidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berstatus sebagai
terdakwa, Presiden memberhentikan sementara dari jabatannya bagi gubernur
dan/atau wakil gubernur, dan Menteri Dalam Negeri memberhentikan sementara dari
jabatannya bagi bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota.
(3)
Apabila kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak
pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih, Presiden memberhentikan
gubernur dan/atau wakil gubernur dari jabatannya, dan Menteri Dalam Negeri memberhentikan
bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota dari jabatannya.
Pasal 19
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD
paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket.
Paragraf 3
Hak Menyatakan Pendapat
Pasal 20
(1)
Hak menyatakan
pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c diusulkan oleh:
a. paling sedikit 15 (lima belas) orang
anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang
beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima)
orang;
b. paling sedikit 20 (dua puluh) orang
anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang
beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang;
c. paling sedikit 8 (delapan) orang anggota
DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota
yang beranggotakan 20 (dua puluh) orang sampai dengan 35 (tiga puluh lima)
orang;
d. paling sedikit 10 (sepuluh) orang
anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD
kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2)
Usul sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pimpinan DPRD, yang ditandatangani
oleh para pengusul dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD.
(3)
Usul sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a.
materi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (4) atau Pasal 349 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta alasan
pengajuan usul pernyataan pendapat; atau
b.
materi hasil
pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau hak angket
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 21
(1)
Usul pernyataan
pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, oleh pimpinan DPRD disampaikan
dalam rapat paripurna DPRD setelah mendapat pertimbangan dari Badan Musyawarah.
(2)
Dalam rapat
paripurna DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pengusul diberi
kesempatan memberikan penjelasan atas usul pernyataan pendapat tersebut.
(3)
Pembahasan dalam
rapat paripurna DPRD mengenai usul pernyataan pendapat dilakukan dengan
memberikan kesempatan kepada:
a.
anggota DPRD
lainnya untuk memberikan pandangan melalui fraksi;
b.
kepala daerah
untuk memberikan pendapat; dan
c.
para pengusul
memberikan jawaban atas pandangan para anggota dan pendapat kepala daerah.
(4)
Usul
pernyataan pendapat sebelum memperoleh keputusan DPRD, pengusul berhak menarik
kembali usulnya.
(5)
Rapat paripurna
DPRD memutuskan menerima atau menolak usul
pernyataan pendapat tersebut menjadi pendapat DPRD.
(6)
Apabila DPRD
menerima usul pernyataan pendapat, keputusan DPRD memuat:
a.
pernyataan pendapat;
b.
saran penyelesaiannya; dan
c.
peringatan.
(7)
Usul sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD apabila mendapat
persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4
(tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Hak Anggota
Pasal 22
(1)
Setiap anggota
DPRD mempunyai hak mengajukan rancangan peraturan daerah.
(2)
Usul prakarsa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam
bentuk rancangan peraturan daerah disertai penjelasan secara tertulis dan
diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD.
(3)
Usul prakarsa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh pimpinan DPRD disampaikan kepada Badan
Legislasi Daerah untuk dilakukan pengkajian.
(4)
Berdasarkan
hasil pengkajian Badan Legislasi Daerah pimpinan DPRD menyampaikan kepada rapat
paripurna DPRD.
(5)
Dalam rapat
paripurna, para pengusul diberi kesempatan memberikan penjelasan atas usul
prakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6)
Pembahasan mengenai
sesuatu usul prakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan
memberikan kesempatan kepada:
a.
anggota DPRD lainnya untuk memberikan
pandangan; dan
b.
para pengusul memberikan jawaban atas
pandangan para anggota DPRD lainnya.
(7)
Usul prakarsa
sebelum diputuskan menjadi prakarsa DPRD, para pengusul berhak mengajukan
perubahan dan/atau mencabutnya kembali.
(8)
Rapat paripurna DPRD memutuskan menerima
atau menolak usul prakarsa menjadi prakarsa DPRD.
(9)
Tata cara
pembahasan rancangan peraturan daerah atas prakarsa DPRD mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam pembahasan rancangan peraturan daerah atas prakarsa kepala
daerah.
Pasal 23
(1)
Setiap anggota
DPRD dapat mengajukan pertanyaan kepada pemerintah daerah berkaitan dengan fungsi,
tugas, dan wewenang DPRD baik secara lisan maupun secara tertulis.
(2)
Jawaban terhadap
pertanyaan anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara
lisan atau secara tertulis dalam tenggang waktu yang disepakati bersama.
Pasal 24
(1) Setiap anggota DPRD dalam rapat DPRD berhak mengajukan
usul dan pendapat baik kepada pemerintah daerah maupun kepada pimpinan DPRD.
(2) Usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan dengan memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan
kepatutan sesuai kode etik DPRD.
Pasal 25
Setiap anggota DPRD berhak untuk memilih dan dipilih
menjadi anggota atau pimpinan dari alat kelengkapan DPRD sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
(1)
Setiap anggota
DPRD berhak membela diri terhadap dugaan pelanggaran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, kode etik, dan peraturan tata tertib DPRD.
(2)
Hak membela diri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum pengambilan keputusan oleh
Badan Kehormatan.
Pasal 27
(1) Anggota DPRD tidak dapat dituntut di depan pengadilan
karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan
ataupun tertulis dalam rapat DPRD maupun di luar rapat DPRD yang berkaitan
dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD.
(2) Anggota DPRD tidak dapat diganti antarwaktu karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD
maupun di luar rapat DPRD
yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang
DPRD.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota DPRD yang
bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup
untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
(1)
Anggota DPRD
mempunyai hak untuk mengikuti orientasi pelaksanaan tugas sebagai anggota DPRD
pada permulaan masa jabatannya dan mengikuti pendalaman tugas pada masa
jabatannya.
(2)
Anggota DPRD
melaporkan hasil pelaksanaan orientasi dan pendalaman tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada pimpinan DPRD dan kepada pimpinan fraksinya.
Pasal 29
Hak protokoler, keuangan, dan administratif pimpinan dan
anggota DPRD diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah.
BAB V
KEWAJIBAN
ANGGOTA DPRD
Pasal 30
Anggota DPRD mempunyai kewajiban:
a.
memegang teguh
dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c.
mempertahankan
dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan golongan;
e.
memperjuangkan
peningkatan kesejahteraan rakyat;
f.
menaati prinsip
demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g.
menaati tata
tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan
lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i.
menyerap dan
menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
j.
menampung dan
menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada konstituen di daerah pemilihannya.
BAB VI
FRAKSI
Pasal 31
(1) Untuk
mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD serta hak dan
kewajiban anggota DPRD, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD.
(2) Setiap anggota
DPRD wajib menjadi anggota salah satu fraksi.
(3) Setiap fraksi di
DPRD beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD.
(4) Partai politik
yang jumlah anggotanya di DPRD mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
(5) Dalam hal partai
politik yang jumlah anggotanya di DPRD tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau
membentuk fraksi gabungan.
(6) Dalam hal tidak
ada 1 (satu) partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka dibentuk fraksi gabungan yang jumlahnya
paling banyak 2 (dua) fraksi gabungan.
(7) Partai politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) harus mendudukkan anggotanya dalam satu fraksi.
(8) Pembentukan fraksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dilaporkan kepada
pimpinan DPRD untuk diumumkan dalam rapat paripurna DPRD.
(9)
Fraksi yang telah diumumkan dalam rapat paripurna
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat tetap selama masa keanggotaan DPRD.
Pasal 32
(1) Untuk menentukan 2
(dua) fraksi gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (6), partai
politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD tetapi tidak
memenuhi ketentuan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(3) mengambil inisiatif untuk membentuk 2 (dua) fraksi gabungan.
(2) Dalam hal terdapat
partai politik yang memiliki kursi terbanyak pertama dan kedua sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) lebih dari 1 (satu), untuk menentukan 2 (dua) fraksi
gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (6), partai politik yang memperoleh
jumlah suara terbanyak dalam pemilihan umum mengambil inisiatif untuk membentuk
2 (dua) fraksi gabungan.
(3) Dalam hal terdapat
partai politik yang memperoleh jumlah suara terbanyak pertama dan kedua
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih dari 1 (satu), partai politik yang
memiliki persebaran suara lebih luas secara berjenjang mengambil inisiatif
untuk membentuk 2 (dua) fraksi gabungan.
Pasal 33
(1)
Fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 mempunyai
sekretariat fraksi.
(2)
Sekretariat fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas membantu kelancaran pelaksanaan tugas fraksi.
(3)
Untuk pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disediakan sarana dan anggaran sesuai dengan kebutuhan dan dengan
memperhatikan kemampuan APBD.
Pasal 34
(1)
Setiap fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dibantu oleh 1 (satu) orang tenaga
ahli.
(2)
Tenaga ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi persyaratan:
a.
berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S1) dengan pengalaman kerja paling
singkat 5 (lima) tahun, strata dua (S2) dengan pengalaman kerja paling singkat
3 (tiga) tahun, atau strata tiga (S3) dengan pengalaman kerja paling singkat 1
(satu) tahun;
b.
menguasai bidang pemerintahan; dan
c.
menguasai tugas dan
fungsi DPRD.
Pasal 35
(1)
Dalam hal jumlah
anggota fraksi lebih dari 3 (tiga) orang, pimpinan fraksi terdiri atas ketua,
wakil ketua, dan sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota fraksi.
(2)
Dalam hal jumlah
anggota fraksi hanya 3 (tiga) orang, pimpinan fraksi terdiri atas ketua dan
sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota fraksi.
(3)
Pimpinan fraksi
yang telah terbentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
dilaporkan kepada pimpinan DPRD untuk diumumkan dalam rapat paripurna.
BAB VII
ALAT KELENGKAPAN DPRD
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36
(1)
Alat kelengkapan
DPRD terdiri atas:
a.
pimpinan;
b.
Badan Musyawarah;
c.
komisi;
d.
Badan Legislasi Daerah;
e.
Badan Anggaran;
f.
Badan Kehormatan; dan
g.
alat kelengkapan
lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2)
Kepemimpinan
alat kelengkapan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif dan
kolegial.
(3)
Dalam
menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat.
Bagian Kedua
Pimpinan
Pasal 37
(1)
Pimpinan DPRD
terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua
untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan puluh lima) orang sampai
dengan 100 (seratus) orang;
b. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45
(empat puluh lima) orang
sampai dengan 84 (delapan puluh empat) orang;
c. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk
DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 44
(empat puluh empat) orang;
d. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk
DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) orang sampai
dengan 50 (lima puluh) orang; atau
e. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk
DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) orang sampai dengan 44
(empat puluh empat) orang.
(2)
Pimpinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan
urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD.
(3)
Ketua DPRD ialah
anggota DPRD yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak
pertama di DPRD.
(4)
Dalam hal
terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak
pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD ialah anggota DPRD yang
berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
(5)
Dalam hal
terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD dilakukan
berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas
secara berjenjang.
(6)
Dalam hal
terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak
pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD ialah anggota DPRD
yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga,
dan/atau keempat.
(7)
Apabila masih
terdapat kursi wakil ketua DPRD yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD yang berasal dari
partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
(8)
Dalam hal
terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak
kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan
berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
(9)
Dalam hal
terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak
kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah
perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
Pasal 38
(1)
Dalam hal
pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) belum terbentuk,
DPRD dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD dengan tugas pokok memimpin rapat
DPRD, memfasilitasi pembentukan fraksi, memfasilitasi penyusunan peraturan DPRD
tentang tata tertib, dan memroses penetapan pimpinan DPRD definitif.
(2)
Pimpinan
sementara DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik
yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD.
(3)
Dalam hal
terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak
sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD ditentukan secara musyawarah oleh
wakil partai politik yang bersangkutan.
(4)
Dalam hal
musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai kesepakatan,
ketua dan wakil ketua sementara DPRD berasal dari partai politik berdasarkan
urutan perolehan suara dalam pemilihan umum.
Pasal 39
(1)
Partai politik
yang berhak mengisi kursi pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), menyampaikan 1 (satu) orang calon pimpinan DPRD kepada
pimpinan sementara DPRD untuk diumumkan dan ditetapkan dalam rapat paripurna
DPRD sebagai calon pimpinan DPRD.
(2)
Pimpinan
sementara DPRD menyampaikan nama calon pimpinan DPRD kepada Menteri Dalam Negeri
melalui gubernur bagi DPRD provinsi, dan kepada gubernur melalui
bupati/walikota bagi DPRD kabupaten/kota untuk diresmikan pengangkatannya.
Pasal 40
(1)
Pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2), sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji di gedung
DPRD setempat yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi bagi pimpinan DPRD
provinsi atau ketua pengadilan negeri bagi pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(2)
Dalam hal pengucapan sumpah/janji di gedung DPRD setempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) karena alasan tertentu tidak dapat dilaksanakan,
pengucapan sumpah/janji pimpinan DPRD dapat dilaksanakan di tempat lain.
(3)
Dalam hal ketua pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berhalangan, pengucapan sumpah/janji pimpinan DPRD provinsi dipandu oleh wakil
ketua pengadilan tinggi.
(4)
Dalam hal wakil ketua pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berhalangan, pengucapan sumpah/janji pimpinan DPRD provinsi dipandu oleh hakim
senior pada pengadilan tinggi yang ditunjuk oleh ketua pengadilan tinggi.
(5)
Dalam hal ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berhalangan, pengucapan sumpah/janji pimpinan DPRD kabupaten/kota dipandu oleh
wakil ketua pengadilan negeri.
(6)
Dalam hal wakil ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berhalangan, pengucapan sumpah/janji pimpinan DPRD kabupaten/kota dipandu oleh
hakim senior pada pengadilan negeri yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri.
Pasal 41
(1)
Pimpinan DPRD
mempunyai tugas:
a.
memimpin sidang
DPRD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b.
menyusun rencana
kerja pimpinan dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
c.
melakukan
koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan
dari alat kelengkapan DPRD;
d.
menjadi juru
bicara DPRD;
e.
melaksanakan dan
memasyarakatkan keputusan DPRD;
f.
mewakili DPRD
dalam berhubungan dengan lembaga/instansi lainnya;
g.
mengadakan
konsultasi dengan kepala daerah dan pimpinan lembaga/instansi vertikal lainnya
sesuai dengan keputusan DPRD;
h. mewakili DPRD di pengadilan;
i.
melaksanakan
keputusan DPRD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
j.
menyusun rencana
anggaran DPRD bersama sekretariat DPRD yang pengesahannya dilakukan dalam rapat
paripurna; dan
k.
menyampaikan
laporan kinerja pimpinan DPRD dalam rapat paripurna DPRD yang khusus diadakan
untuk itu.
(2)
Dalam hal salah
seorang pimpinan DPRD berhalangan sementara kurang dari 30 (tiga puluh) hari,
pimpinan DPRD mengadakan musyawarah untuk menentukan salah satu pimpinan DPRD
untuk melaksanakan tugas pimpinan DPRD yang berhalangan sementara sampai dengan
pimpinan yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas kembali.
(3)
Dalam hal salah
seorang pimpinan DPRD berhalangan sementara lebih dari 30 (tiga puluh) hari,
partai politik asal pimpinan DPRD yang berhalangan sementara mengusulkan kepada
pimpinan DPRD salah seorang anggota DPRD yang berasal dari partai politik
tersebut untuk melaksanakan tugas pimpinan DPRD yang berhalangan sementara.
Pasal 42
(1)
Masa jabatan
pimpinan DPRD terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji pimpinan dan
berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan keanggotaan DPRD.
(2)
Pimpinan DPRD
berhenti dari jabatannya sebelum berakhir masa jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri sebagai pimpinan DPRD;
c.
diberhentikan
sebagai anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
d. diberhentikan
sebagai pimpinan DPRD.
(3)
Pimpinan DPRD diberhentikan dari
jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d apabila yang
bersangkutan:
a. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD berdasarkan keputusan Badan Kehormatan; atau
b. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4)
Dalam hal salah
seorang pimpinan DPRD berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk
melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan
pengganti yang definitif.
(5)
Dalam hal ketua
dan para wakil ketua berhenti secara bersamaan, tugas pimpinan DPRD
dilaksanakan oleh pimpinan sementara yang dibentuk sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 38.
Pasal 43
(1)
Usul
pemberhentian pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaporkan
dalam rapat paripurna DPRD oleh pimpinan DPRD lainnya.
(2)
Pemberhentian
pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam rapat
paripurna DPRD.
(3)
Pemberhentian
pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan
DPRD.
Pasal 44
(1)
Keputusan DPRD
provinsi tentang pemberhentian pimpinan DPRD provinsi disampaikan oleh pimpinan
DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk peresmian
pemberhentiannya.
(2)
Keputusan DPRD
kabupaten/kota tentang pemberhentian pimpinan DPRD kabupaten/kota, disampaikan
oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk
peresmian pemberhentiannya.
(3)
Keputusan DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan berita acara
rapat paripurna DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).
Pasal 45
(1)
Pengganti
pimpinan DPRD yang berhenti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 berasal dari
partai politik yang sama dengan pimpinan DPRD yang berhenti.
(2)
Calon pengganti
pimpinan DPRD yang berhenti diusulkan oleh pimpinan partai politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk diumumkan dalam rapat paripurna DPRD dan
ditetapkan dengan keputusan DPRD.
(3)
Pimpinan
DPRD provinsi mengusulkan peresmian pengangkatan calon pengganti pimpinan DPRD
provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
(4)
Pimpinan
DPRD kabupaten/kota mengusulkan peresmian pengangkatan calon pengganti pimpinan
DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota.
Bagian Ketiga
Badan Musyawarah
Pasal 46
(1)
Badan Musyawarah
merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada
awal masa jabatan keanggotaan DPRD.
(2)
Badan Musyawarah
terdiri atas unsur-unsur fraksi berdasarkan perimbangan jumlah anggota dan
paling banyak 1/2 (setengah) dari jumlah anggota DPRD.
(3)
Susunan
keanggotaan Badan Musyawarah ditetapkan dalam rapat paripurna setelah
terbentuknya pimpinan DPRD, komisi, Badan Anggaran, dan fraksi.
(4)
Ketua dan wakil
ketua DPRD karena jabatannya adalah pimpinan Badan Musyawarah merangkap
anggota.
(5)
Sekretaris DPRD
karena jabatannya adalah sekretaris Badan Musyawarah dan bukan sebagai anggota.
Pasal 47
(1)
Badan Musyawarah
mempunyai tugas:
a. menetapkan agenda DPRD untuk 1 (satu) tahun sidang, 1
(satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu
penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan peraturan
daerah, dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya;
b. memberikan pendapat kepada pimpinan DPRD dalam menentukan
garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD;
c. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat
kelengkapan DPRD yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai
pelaksanaan tugas masing-masing;
d. menetapkan jadwal acara rapat DPRD;
e. memberi saran/pendapat untuk memperlancar kegiatan;
f. merekomendasikan pembentukan panitia khusus; dan
g. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat
paripurna kepada Badan Musyawarah.
(2)
Setiap anggota Badan
Musyawarah wajib:
a. mengadakan konsultasi dengan fraksi sebelum mengikuti
rapat Badan Musyawarah; dan
b. menyampaikan pokok-pokok hasil rapat Badan Musyawarah
kepada fraksi.
Bagian Keempat
Komisi
Pasal 48
(1)
Komisi merupakan
alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa
jabatan keanggotaan DPRD.
(2)
Setiap anggota
DPRD kecuali pimpinan DPRD, wajib menjadi anggota salah satu komisi.
(3)
Komisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan ketentuan:
a.
DPRD provinsi
yang beranggotakan 35 (tiga puluh) sampai dengan 55 (lima puluh lima) orang
membentuk 4 (empat) komisi;
b.
DPRD provinsi
yang beranggotakan lebih dari 55 (lima puluh lima) membentuk 5 (lima) komisi;
c.
DPRD
kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (lima puluh
lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi; dan
d.
DPRD
kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari 35 (lima puluh lima) orang membentuk 4 (empat)
komisi.
(4)
Jumlah anggota
setiap komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diupayakan sama.
(5)
Ketua, wakil
ketua, dan sekretaris komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi dan
dilaporkan dalam rapat paripurna DPRD.
(6)
Penempatan
anggota DPRD dalam komisi dan perpindahannya ke komisi lain didasarkan atas
usul fraksi dan dapat dilakukan setiap awal tahun anggaran.
(7)
Keanggotaan
dalam komisi diputuskan dalam rapat paripurna DPRD atas usul fraksi pada awal
tahun anggaran.
(8)
Masa jabatan
ketua, wakil ketua, dan sekretaris komisi ditetapkan paling lama 2˝ (dua
setengah) tahun.
(9)
Anggota
DPRD pengganti antarwaktu menduduki tempat anggota komisi yang digantikan.
Pasal 49
Komisi mempunyai tugas:
a.
mengupayakan
terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
melakukan
pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah dan rancangan keputusan DPRD;
c.
melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD sesuai dengan ruang
lingkup tugas komisi;
d.
membantu
pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang disampaikan oleh
kepala daerah dan/atau masyarakat kepada
DPRD;
e.
menerima,
menampung, dan membahas serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
f.
memperhatikan
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
g.
melakukan
kunjungan kerja komisi yang bersangkutan atas persetujuan pimpinan DPRD;
h.
mengadakan rapat
kerja dan rapat dengar pendapat;
i.
mengajukan usul
kepada pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masing-masing
komisi; dan
j.
memberikan
laporan tertulis kepada pimpinan DPRD tentang hasil pelaksanaan tugas komisi.
Bagian Kelima
Badan Legislasi Daerah
Pasal 50
Badan Legislasi Daerah merupakan alat kelengkapan DPRD
yang bersifat tetap, dibentuk dalam rapat paripurna DPRD.
Pasal
51
(1) Susunan
dan keanggotaan Badan Legislasi Daerah dibentuk pada permulaan masa keanggotaan
DPRD dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah
anggota Badan Legislasi Daerah ditetapkan dalam rapat paripurna menurut
perimbangan dan pemerataan jumlah anggota komisi.
(3) Jumlah
anggota Badan Legislasi Daerah setara dengan jumlah anggota satu komisi di DPRD
yang bersangkutan.
(4) Anggota
Badan Legislasi Daerah diusulkan masing-masing fraksi.
Pasal 52
(1) Pimpinan Badan Legislasi Daerah terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan
Legislasi Daerah berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2) Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah sekretaris Badan
Legislasi Daerah dan bukan sebagai anggota.
(3) Masa jabatan pimpinan Badan Legislasi Daerah paling lama 2˝
(dua setengah) tahun.
(4) Keanggotaan Badan Legislasi Daerah dapat diganti pada
setiap tahun anggaran.
Pasal 53
Badan
Legislasi
Daerah bertugas:
a. menyusun
rancangan program legislasi daerah yang memuat daftar urutan dan prioritas
rancangan peraturan daerah beserta alasannya untuk setiap tahun anggaran di
lingkungan DPRD;
b. koordinasi
untuk penyusunan program legislasi daerah antara DPRD dan pemerintah daerah;
c. menyiapkan
rancangan peraturan daerah usul DPRD berdasarkan program prioritas yang telah
ditetapkan;
d. melakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan
daerah yang diajukan anggota, komisi dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan
peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan DPRD;
e. memberikan
pertimbangan terhadap rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota,
komisi dan/atau gabungan komisi, di luar prioritas rancangan peraturan daerah
tahun berjalan atau di luar rancangan peraturan daerah yang terdaftar dalam
program legislasi daerah;
f. mengikuti
perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan
peraturan daerah melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
g. memberikan
masukan kepada pimpinan DPRD atas rancangan peraturan daerah yang ditugaskan
oleh Badan Musyawarah; dan
h. membuat laporan
kinerja pada masa akhir keanggotaan DPRD baik yang sudah maupun yang belum
terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa
keanggotaan berikutnya.
Bagian Keenam
Badan Anggaran
Pasal 54
(1)
Badan Anggaran merupakan
alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa
jabatan keanggotaan DPRD.
(2)
Anggota Badan
Anggaran diusulkan oleh masing-masing fraksi dengan mempertimbangkan
keanggotaannya dalam tiap-tiap komisi dan paling banyak 1/2 (setengah) dari
jumlah anggota DPRD.
(3)
Ketua dan wakil
ketua DPRD karena jabatannya adalah pimpinan Badan Anggaran merangkap anggota.
(4)
Susunan
keanggotaan, ketua, dan wakil ketua Badan Anggaran ditetapkan dalam rapat
paripurna.
(5)
Sekretaris DPRD
karena jabatannya adalah sekretaris Badan Anggaran dan bukan sebagai anggota.
(6)
Penempatan
anggota DPRD dalam Badan Anggaran dan perpindahannya ke alat kelengkapan DPRD lainnya
didasarkan atas usul fraksi dan dapat dilakukan setiap awal tahun anggaran.
Pasal 55
Badan Anggaran mempunyai
tugas:
a.
memberikan saran
dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam
mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5
(lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD;
b.
melakukan
konsultasi yang dapat diwakili oleh anggotanya kepada komisi terkait untuk
memperoleh masukan dalam rangka pembahasan rancangan kebijakan umum APBD serta
prioritas dan plafon anggaran sementara;
c.
memberikan saran
dan pendapat kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan peraturan
daerah tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
d.
melakukan
penyempurnaan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan
daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD berdasarkan hasil evaluasi
Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan gubernur bagi DPRD kabupaten/kota
bersama tim anggaran pemerintah daerah;
e.
melakukan
pembahasan bersama tim anggaran pemerintah daerah terhadap rancangan kebijakan
umum APBD serta rancangan prioritas dan plafon anggaran sementara yang
disampaikan oleh kepala daerah; dan
f.
memberikan saran
kepada pimpinan DPRD dalam penyusunan anggaran belanja DPRD.
Bagian Ketujuh
Badan Kehormatan
Pasal 56
(1)
Badan Kehormatan
dibentuk oleh DPRD dan merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap.
(2)
Pembentukan Badan
Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan DPRD.
(3)
Anggota Badan
Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota
DPRD dengan ketentuan:
a.
untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai
dengan 74 (tujuh puluh empat) orang berjumlah 5 (lima) orang, dan untuk DPRD
provinsi yang beranggotakan 75 (tujuh puluh lima) orang sampai dengan 100
(seratus) orang berjumlah 7 (tujuh) orang;
b. untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan sampai dengan 34 (tiga puluh empat) orang berjumlah 3 (tiga) orang, dan untuk DPRD kabupaten/kota
yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 50 (lima puluh) orang
berjumlah 5 (lima) orang.
(4)
Pimpinan Badan
Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan
Kehormatan.
(5)
Anggota Badan
Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipilih dan ditetapkan dalam
rapat paripurna DPRD berdasarkan usul dari masing-masing fraksi.
(6)
Untuk memilih
anggota Badan Kehormatan, masing-masing fraksi berhak mengusulkan 1 (satu)
orang calon anggota Badan Kehormatan.
(7)
Dalam hal di
DPRD hanya terdapat 2 (dua) fraksi, fraksi yang memiliki jumlah kursi lebih
banyak berhak mengusulkan 2 (dua) orang calon anggota Badan Kehormatan.
(8)
Masa tugas
anggota Badan Kehormatan paling lama 2˝ (dua setengah) tahun.
(9)
Anggota
DPRD pengganti antarwaktu menduduki tempat anggota Badan Kehormatan yang
digantikan.
(10) Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibantu oleh sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh sekretariat
DPRD.
Pasal 57
(1)
Badan Kehormatan
mempunyai tugas:
a. memantau dan
mengevaluasi disiplin dan/atau kepatuhan terhadap moral, kode etik, dan/atau
peraturan tata tertib DPRD dalam rangka menjaga martabat, kehormatan, citra,
dan kredibilitas DPRD;
b. meneliti dugaan
pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap peraturan tata tertib dan/atau
kode etik DPRD;
c. melakukan
penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan DPRD, anggota
DPRD, dan/atau masyarakat; dan
d. melaporkan
keputusan Badan Kehormatan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf c kepada rapat paripurna DPRD.
(2)
Dalam
melaksanakan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Badan Kehormatan dapat meminta bantuan dari ahli independen.
Pasal 58
Untuk
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, Badan Kehormatan berwenang:
a. memanggil anggota DPRD yang diduga melakukan pelanggaran kode
etik dan/atau peraturan tata tertib DPRD untuk memberikan klarifikasi atau
pembelaan atas pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan;
b. meminta keterangan pengadu, saksi, dan/atau pihak-pihak
lain yang terkait, termasuk untuk meminta dokumen atau bukti lain; dan
c. menjatuhkan sanksi kepada anggota DPRD yang terbukti
melanggar kode etik dan/atau peraturan tata tertib DPRD.
Pasal 59
(1)
Badan Kehormatan
menjatuhkan sanksi kepada anggota DPRD yang terbukti melanggar kode etik
dan/atau peraturan tata tertib DPRD berdasarkan hasil penyelidikan, verifikasi,
dan klarifikasi oleh Badan Kehormatan.
(2)
Sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.
teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c.
pemberhentian
sebagai pimpinan alat kelengkapan DPRD; atau
d. pemberhentian sebagai anggota DPRD sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan.
(3)
Keputusan Badan
Kehormatan mengenai penjatuhan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis,
atau pemberhentian sebagai pimpinan alat kelengkapan DPRD disampaikan oleh
pimpinan DPRD kepada anggota DPRD yang bersangkutan, pimpinan fraksi, dan
pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4)
Keputusan Badan
Kehormatan mengenai penjatuhan sanksi berupa pemberhentian sebagai anggota DPRD
diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 60
(1)
Pengaduan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c disampaikan secara
tertulis kepada pimpinan DPRD disertai identitas pengadu yang jelas dengan
tembusan kepada Badan Kehormatan.
(2)
Pimpinan DPRD
wajib menyampaikan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Badan
Kehormatan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal pengaduan
diterima.
(3)
Apabila dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pimpinan DPRD tidak
menyampaikan pengaduan kepada Badan Kehormatan, Badan Kehormatan menindaklanjuti
pengaduan tersebut.
(4)
Dalam hal
pengaduan tidak disertai dengan identitas pengadu yang jelas, pimpinan DPRD
tidak meneruskan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Badan
Kehormatan.
Pasal 61
(1)
Setelah menerima
pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Badan Kehormatan melakukan
penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.
(2)
Penyelidikan,
verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara meminta keterangan dan penjelasan kepada pengadu, saksi, teradu, dan/atau
pihak-pihak lain yang terkait, dan/atau memverifikasi dokumen atau bukti lain
yang terkait.
(3)
Hasil
penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara penyelidikan, verifikasi, dan
klarifikasi.
(4)
Pimpinan DPRD
dan/atau Badan Kehormatan menjamin kerahasiaan hasil penyelidikan, verifikasi,
dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 62
(1)
Dalam hal hasil
penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(3) menyatakan bahwa teradu terbukti bersalah, Badan Kehormatan menjatuhkan
sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya.
(2)
Sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Badan Kehormatan
dan dilaporkan kepada rapat paripurna DPRD.
(3)
Dalam hal
keputusan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjatuhkan
sanksi berupa pemberhentian sebagai anggota DPRD, pimpinan DPRD menyampaikan
keputusan tersebut kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4)
Pimpinan partai
politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan diterima,
menyampaikan keputusan dan usul pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD.
(5)
Dalam hal
pimpinan partai politik tidak menyampaikan keputusan dan usul pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD menyampaikan usul
pemberhentian anggota DPRD tersebut berdasarkan keputusan Badan Kehormatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi
anggota DPRD provinsi, dan kepada gubernur melalui bupati/walikota bagi anggota
DPRD kabupaten/kota.
(6)
Menteri Dalam
Negeri meresmikan pemberhentian anggota DPRD provinsi dan gubernur meresmikan
pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan usul pimpinan DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Bagian Kedelapan
Alat Kelengkapan Lain
Pasal 63
(1)
Dalam hal
diperlukan, DPRD dapat membentuk alat kelengkapan lain berupa panitia khusus.
(2)
Panitia khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat kelengkapan DPRD yang
bersifat tidak tetap.
(3)
Panitia khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dalam rapat paripurna DPRD atas
usul anggota setelah mendengar pertimbangan Badan Musyawarah.
(4)
Pembentukan
panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan
DPRD.
(5)
Jumlah anggota
panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
mempertimbangkan jumlah anggota setiap komisi yang terkait dan disesuaikan
dengan program/kegiatan serta kemampuan anggaran DPRD.
(6)
Anggota panitia
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), terdiri atas anggota komisi terkait yang diusulkan oleh masing-masing
fraksi.
(7)
Ketua dan wakil
ketua panitia khusus dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus.
(8)
Panitia khusus
dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh sekretariat DPRD.
BAB VIII
PERSIDANGAN,
RAPAT, DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Bagian Kesatu
Persidangan
Pasal 64
(1)
Pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD, tahun sidang DPRD dimulai pada
saat pengucapan sumpah/janji anggota DPRD.
(2)
Tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) masa
persidangan.
(3)
Masa persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi masa sidang
dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan
DPRD dilakukan tanpa masa reses.
(4)
Masa reses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) kali reses.
(5)
Masa reses dipergunakan oleh anggota DPRD secara perseorangan atau kelompok
untuk mengunjungi daerah pemilihannya guna menyerap aspirasi masyarakat.
(6)
Anggota DPRD secara perseorangan atau kelompok wajib membuat laporan
tertulis atas hasil pelaksanaan tugasnya pada masa reses sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), yang disampaikan kepada pimpinan DPRD dalam rapat paripurna.
(7)
Jadwal dan kegiatan acara selama masa reses sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), ditetapkan oleh pimpinan DPRD setelah mendengar pertimbangan Badan
Musyawarah.
Bagian Kedua
Rapat
Pasal 65
(1)
Jenis Rapat DPRD
terdiri atas:
a.
rapat paripurna;
b.
rapat paripurna istimewa;
c.
rapat pimpinan
DPRD;
d.
rapat fraksi;
e.
rapat konsultasi;
f.
rapat Badan
Musyawarah;
g.
rapat komisi;
h.
rapat gabungan
komisi;
i.
rapat Badan
Anggaran;
j.
rapat Badan
Legislasi Daerah;
k.
rapat Badan
Kehormatan;
l.
rapat panitia khusus;
m.
rapat kerja;
n.
rapat dengar
pendapat; dan
o.
rapat dengar
pendapat umum.
(2)
Rapat paripurna
merupakan forum rapat tertinggi anggota DPRD dalam pengambilan keputusan yang
dipimpin oleh ketua atau wakil ketua DPRD.
(3)
Rapat paripurna
istimewa merupakan rapat anggota DPRD yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua
untuk melaksanakan acara tertentu dan tidak mengambil keputusan.
(4)
Rapat pimpinan
DPRD merupakan rapat para anggota pimpinan DPRD yang dipimpin oleh ketua atau
wakil ketua DPRD.
(5)
Rapat fraksi
adalah rapat anggota fraksi yang dipimpin oleh pimpinan fraksi.
(6)
Rapat konsultasi
adalah rapat antara pimpinan DPRD dengan pimpinan fraksi dan pimpinan alat
kelengkapan DPRD yang dipimpin oleh pimpinan DPRD.
(7)
Rapat Badan
Musyawarah merupakan rapat anggota Badan Musyawarah yang dipimpin oleh ketua
atau wakil ketua Badan Musyawarah.
(8)
Rapat komisi
merupakan rapat anggota komisi yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua
komisi.
(9)
Rapat gabungan
komisi merupakan rapat antarkomisi yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua
DPRD.
(10)
Rapat Badan
Anggaran merupakan rapat anggota Badan Anggaran yang dipimpin oleh ketua atau
wakil ketua Badan Anggaran.
(11)
Rapat Badan
Legislasi Daerah merupakan rapat anggota Badan Legislasi Daerah yang dipimpin
oleh ketua atau wakil ketua Badan Legislasi Daerah.
(12)
Rapat Badan
Kehormatan merupakan rapat anggota Badan Kehormatan yang dipimpin oleh ketua
atau wakil ketua Badan Kehormatan.
(13)
Rapat panitia
khusus merupakan rapat anggota panitia khusus yang dipimpin oleh ketua atau
wakil ketua panitia khusus.
(14)
Rapat kerja
merupakan rapat antara DPRD dan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atau
antara Badan Anggaran, komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus dan kepala
daerah atau pejabat yang ditunjuk.
(15)
Rapat dengar
pendapat merupakan rapat antara DPRD dan pemerintah daerah.
(16)
Rapat dengar
pendapat umum merupakan rapat antara DPRD dan masyarakat baik
lembaga/organisasi kemasyarakatan maupun perseorangan atau antara komisi,
gabungan komisi, atau panitia khusus dan masyarakat baik lembaga/organisasi kemasyarakatan maupun perseorangan.
Pasal 66
(1) Rapat paripurna DPRD diadakan secara berkala paling
sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun masa sidang.
(2) Rapat paripurna selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilaksanakan atas usul:
a. kepala
daerah;
b. pimpinan alat kelengkapan DPRD; atau
c. anggota dengan jumlah paling sedikit 1/5 (satu perlima)
dari jumlah anggota DPRD yang mencerminkan lebih dari 1 (satu) fraksi.
(3) Rapat paripurna DPRD diselenggarakan atas undangan ketua
atau wakil ketua DPRD berdasarkan jadwal rapat yang telah ditetapkan oleh Badan
Musyawarah.
Pasal 67
(1) Hasil rapat paripurna DPRD dituangkan dalam bentuk
peraturan atau keputusan DPRD.
(2) Hasil rapat pimpinan DPRD ditetapkan dalam keputusan
pimpinan DPRD.
(3) Peraturan atau keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Peraturan atau keputusan DPRD provinsi dilaporkan kepada
Menteri Dalam Negeri dan peraturan atau keputusan DPRD kabupaten/kota
dilaporkan kepada gubernur, paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
ditetapkan.
Pasal 68
Semua rapat di DPRD pada dasarnya bersifat terbuka,
kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Pasal 69
(1)
Rapat DPRD yang
bersifat terbuka meliputi rapat paripurna DPRD, rapat paripurna istimewa, dan
rapat dengar pendapat umum.
(2)
Rapat DPRD yang
bersifat tertutup meliputi rapat pimpinan
DPRD, rapat konsultasi, rapat Badan Musyawarah, rapat Badan Anggaran, dan rapat
Badan Kehormatan.
(3)
Rapat DPRD yang
bersifat terbuka dan dapat dinyatakan tertutup meliputi rapat komisi, rapat gabungan
komisi, rapat panitia khusus, rapat Badan Legislasi Daerah, rapat kerja, dan
rapat dengar pendapat.
Pasal 70
Rapat DPRD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) dinyatakan tertutup oleh pimpinan
rapat berdasarkan kesepakatan peserta rapat sesuai
dengan substansi yang akan dibahas.
Pasal 71
(1)
Pembicaraan
dalam rapat tertutup tidak boleh diumumkan.
(2)
Materi yang
telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan, dilarang diumumkan
oleh peserta rapat.
(3)
Setiap orang
yang melihat, mendengar, atau mengetahui pembicaraan atau materi rapat tertutup
yang harus dirahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib
merahasiakannya.
(4)
Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 72
(1)
Pimpinan rapat
setelah membuka rapat memberitahukan surat masuk dan surat keluar untuk
diberitahukan kepada peserta atau untuk dibahas dalam rapat, kecuali surat yang
berkaitan dengan urusan kerumahtanggaan DPRD.
(2)
Pada setiap
rapat DPRD dibuat risalah rapat yang memuat proses dan materi pembicaraan rapat.
(3)
Dalam hal rapat
DPRD dinyatakan tertutup, risalah rapat wajib disampaikan oleh pimpinan rapat
kepada pimpinan DPRD, kecuali rapat tertutup yang dipimpin langsung oleh
pimpinan DPRD.
Pasal 73
Hari dan jam
kerja DPRD disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing dengan mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
(1)
Rapat DPRD
dilaksanakan di gedung DPRD.
(2)
Dalam hal rapat
tidak dapat dilaksanakan di gedung DPRD karena kebutuhan atau alasan tertentu,
rapat DPRD dapat dilaksanakan di
tempat lain yang ditentukan oleh pimpinan DPRD.
Pasal 75
(1)
Setiap anggota
DPRD wajib menghadiri rapat DPRD, baik rapat paripurna maupun rapat alat
kelengkapan sesuai dengan tugas dan kewajibannya.
(2)
Anggota DPRD
yang menghadiri rapat DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menandatangani daftar hadir rapat.
(3)
Para undangan yang
menghadiri rapat DPRD, disediakan daftar hadir rapat tersendiri.
(4)
Anggota DPRD
yang hadir apabila akan meninggalkan ruangan rapat, wajib memberitahukan kepada
pimpinan rapat.
Bagian Ketiga
Pengambilan Keputusan
Pasal 76
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD pada dasarnya dilakukan dengan cara
musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Pasal 77
Setiap rapat
DPRD dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
Pasal 78
(1) Rapat paripurna memenuhi kuorum apabila:
a. dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah anggota DPRD untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan
hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul
pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
b. dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota DPRD untuk memberhentikan pimpinan DPRD serta untuk menetapkan
peraturan daerah dan APBD; atau
c. dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota
DPRD untuk rapat paripurna DPRD selain rapat sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b.
(2) Keputusan rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dinyatakan sah apabila:
a. disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota DPRD yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a;
b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah
anggota DPRD yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b; atau
c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c.
(3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak
2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
(4) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan rapat dapat
menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan
Musyawarah.
(5) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b untuk
pelaksanaan hak angket, hak menyatakan pendapat, dan memberhentikan pimpinan
DPRD, serta menetapkan peraturan daerah, rapat tidak dapat mengambil keputusan
dan rapat paripurna DPRD tidak dapat diulang lagi.
(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk menetapkan APBD,
rapat tidak dapat mengambil keputusan dan penyelesaiannya diserahkan kepada
Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan kepada gubernur untuk kabupaten/kota.
(7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, cara penyelesaiannya
diserahkan kepada pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi.
(8) Setiap penundaan rapat, dibuat berita acara penundaan
rapat yang ditandatangani oleh pimpinan rapat.
Pasal 79
(1) Rapat alat kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
65 ayat (1) huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, dan huruf l
memenuhi kuorum apabila dihadiri secara fisik oleh paling sedikit 50 % (lima
puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota alat kelengkapan yang bersangkutan dan
lebih dari 1 (satu) fraksi.
(2) Dalam hal rapat alat kelengkapan DPRD mengambil
keputusan, keputusan dinyatakan sah apabila disetujui oleh suara terbanyak dari
anggota alat kelengkapan yang hadir.
Pasal 80
Setiap keputusan rapat DPRD, baik berdasarkan musyawarah
untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk
ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.
BAB IX
TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
Pasal 81
(1) Rancangan
peraturan daerah dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah.
(2) Rancangan
peraturan daerah yang berasal dari DPRD atau kepala daerah disertai penjelasan
atau keterangan dan/atau naskah akademik.
(3) Rancangan
peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan berdasarkan
program legislasi daerah.
(4) Dalam keadaan
tertentu, DPRD atau kepala daerah dapat mengajukan rancangan peraturan daerah
di luar program legislasi daerah.
Pasal 82
(1)
Rancangan
peraturan daerah yang berasal dari DPRD dapat diajukan oleh anggota DPRD,
komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi Daerah.
(2)
Rancangan
peraturan daerah yang diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau
Badan Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis kepada pimpinan DPRD disertai dengan penjelasan atau keterangan
dan/atau naskah akademik, daftar nama dan tanda tangan pengusul, dan diberikan
nomor pokok oleh sekretariat DPRD.
(3)
Rancangan
peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh pimpinan DPRD
disampaikan kepada Badan Legislasi Daerah untuk dilakukan pengkajian.
(4)
Pimpinan DPRD
menyampaikan hasil pengkajian Badan Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) kepada rapat paripurna DPRD.
(5)
Rancangan
peraturan daerah yang telah dikaji oleh Badan Legislasi Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada semua anggota DPRD
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum rapat paripurna DPRD.
(6)
Dalam rapat
paripurna DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
a.
pengusul memberikan penjelasan;
b.
fraksi dan
anggota DPRD lainnya memberikan pandangan; dan
c.
pengusul
memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan anggota DPRD lainnya.
(7)
Rapat paripurna
DPRD memutuskan usul rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), berupa:
a.
persetujuan;
b.
persetujuan dengan pengubahan; atau
c.
penolakan.
(8)
Dalam hal
persetujuan dengan pengubahan, DPRD menugasi komisi, gabungan komisi, Badan
Legislasi Daerah, atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan peraturan
daerah tersebut.
(9)
Rancangan
peraturan daerah yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan surat
pimpinan DPRD kepada kepala daerah.
Pasal 83
(1)
Rancangan
peraturan daerah yang berasal dari kepala daerah diajukan dengan surat kepala
daerah kepada pimpinan DPRD.
(2)
Rancangan
peraturan daerah yang berasal dari kepala daerah disiapkan dan diajukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 84
Apabila dalam
satu masa sidang kepala daerah dan DPRD menyampaikan rancangan peraturan daerah
mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah
yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan peraturan daerah yang
disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Pasal 85
(1) Rancangan peraturan daerah yang berasal dari DPRD atau
kepala daerah dibahas oleh DPRD dan kepala daerah untuk mendapatkan persetujuan
bersama.
(2) Pembahasan rancangan peraturan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu
pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II.
(3) Pembicaraan tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi:
a. Dalam hal rancangan peraturan daerah
berasal dari kepala daerah dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
1.
penjelasan
kepala daerah dalam rapat paripurna mengenai rancangan peraturan daerah;
2.
pemandangan umum
fraksi terhadap rancangan peraturan daerah; dan
3.
tanggapan
dan/atau jawaban kepala daerah terhadap pemandangan umum fraksi.
b.
Dalam hal
rancangan peraturan daerah berasal dari DPRD dilakukan dengan kegiatan sebagai
berikut:
1.
penjelasan
pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi Daerah,
atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna mengenai rancangan peraturan
daerah;
2.
pendapat kepala
daerah terhadap rancangan peraturan daerah; dan
3.
tanggapan
dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat kepala daerah.
c.
Pembahasan dalam
rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang dilakukan bersama dengan
kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya.
(4) Pembicaraan tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang
didahului dengan:
1.
penyampaian
laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang
berisi proses pembahasan, pendapat fraksi dan hasil pembicaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c; dan
2.
permintaan
persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna.
b.
Pendapat akhir kepala daerah.
(5)
Dalam hal persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4)
huruf a angka 2 tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, keputusan
diambil berdasarkan suara terbanyak.
(6)
Dalam hal rancangan peraturan daerah tidak mendapat
persetujuan bersama antara DPRD dan kepala daerah, rancangan peraturan daerah tersebut
tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPRD masa itu.
Pasal 86
(1) Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum
dibahas bersama oleh DPRD dan kepala daerah.
(2) Penarikan kembali rancangan peraturan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) oleh DPRD, dilakukan dengan keputusan pimpinan DPRD
dengan disertai alasan penarikan.
(3) Penarikan kembali rancangan peraturan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) oleh kepala daerah, disampaikan dengan surat kepala
daerah disertai alasan penarikan.
(4) Rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas hanya
dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah.
(5) Penarikan kembali rancangan peraturan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan dalam rapat paripurna DPRD yang
dihadiri oleh kepala daerah.
(6) Rancangan peraturan daerah yang ditarik kembali tidak
dapat diajukan lagi pada masa sidang yang sama.
Pasal 87
(1)
Rancangan
peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah
disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi
peraturan daerah.
(2)
Penyampaian
rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
bersama.
Pasal 88
(1)
Rancangan
peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ditetapkan oleh kepala
daerah dengan membubuhkan tanda tangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan kepala
daerah.
(2)
Dalam hal
rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
ditandatangani oleh kepala daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama, rancangan peraturan
daerah tersebut sah menjadi peraturan daerah dan wajib diundangkan dalam lembaran
daerah.
(3)
Dalam hal sahnya
rancangan peraturan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan
Daerah ini dinyatakan sah.
(4)
Kalimat
pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan
pada halaman terakhir peraturan daerah sebelum pengundangan naskah peraturan
daerah ke dalam lembaran daerah.
(5)
Peraturan daerah
berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.
(6)
Rancangan peraturan
daerah yang berkaitan dengan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata
ruang daerah sebelum ditetapkan harus dievaluasi oleh Pemerintah dan/atau
gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)
Peraturan daerah
setelah diundangkan dalam lembaran daerah harus disampaikan kepada Pemerintah dan/atau
gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
KODE ETIK
Pasal 89
(1)
DPRD menyusun kode
etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota DPRD selama
menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan
kredibilitas DPRD.
(2)
Ketentuan
mengenai kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPRD
tentang kode etik.
(3)
Peraturan DPRD
tentang kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat ketentuan
tentang:
a.
pengertian kode
etik;
b.
tujuan kode etik;
dan
c.
pengaturan mengenai:
1.
sikap dan perilaku anggota DPRD;
2.
tata kerja
anggota DPRD;
3.
tata hubungan
antarpenyelenggara pemerintahan daerah;
4.
tata hubungan
antaranggota DPRD;
5.
tata hubungan antara anggota DPRD dan pihak lain;
6.
penyampaian
pendapat, tanggapan, jawaban, dan sanggahan;
7.
kewajiban anggota DPRD;
8.
larangan bagi anggota DPRD;
9.
hal-hal yang tidak patut dilakukan
oleh anggota DPRD;
10.
sanksi dan
mekanisme penjatuhan sanksi; dan
11. rehabilitasi.
Pasal 90
Pengaturan
mengenai sikap dan perilaku anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89
ayat (3) huruf c angka 1 memuat ketentuan antara lain:
a.
bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa;
b.
mempertahankan
keutuhan negara serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;
c.
menjunjung
tinggi demokrasi dan hak asasi manusia;
d.
memiliki integritas
tinggi dan jujur;
e.
menegakkan
kebenaran dan keadilan;
f. memperjuangkan
aspirasi masyarakat tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, asal usul,
golongan, dan jenis kelamin;
g.
mengutamakan
pelaksanaan tugas dan kewajiban anggota DPRD daripada kegiatan lain di luar
tugas dan kewajiban DPRD; dan
h.
menaati
ketentuan mengenai kewajiban dan larangan bagi anggota DPRD sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 91
Pengaturan
mengenai tata kerja anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf
c angka 2 memuat ketentuan antara lain:
a.
menunjukkan
profesionalisme sebagai anggota DPRD;
b. melaksanakan tugas dan kewajiban demi kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat;
c.
berupaya
meningkatkan kualitas dan kinerja;
d. mengikuti seluruh agenda kerja DPRD, kecuali berhalangan
atas izin dari pimpinan fraksi;
e.
menghadiri rapat
DPRD secara fisik;
f.
bersikap sopan
dan santun serta senantiasa menjaga ketertiban pada setiap rapat DPRD;
g.
menjaga rahasia
termasuk hasil rapat yang disepakati untuk dirahasiakan sampai dengan
dinyatakan terbuka untuk umum;
h. memperoleh izin tertulis dari pejabat yang berwenang
untuk perjalanan ke luar negeri, baik atas beban APBD maupun pihak lain;
i.
melaksanakan
perjalanan dinas atas izin tertulis dan/atau penugasan dari pimpinan DPRD,
serta berdasarkan ketersediaan anggaran sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
j.
tidak menyampaikan
hasil dari suatu rapat DPRD yang tidak dihadirinya kepada pihak lain; dan
k. tidak membawa anggota keluarga dalam perjalanan dinas,
kecuali atas alasan tertentu dan seizin pimpinan DPRD.
Pasal 92
Pengaturan
mengenai tata hubungan antarpenyelenggara pemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 3, tata hubungan antaranggota
DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 4, serta tata hubungan antara
anggota DPRD dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c
angka 5 memuat ketentuan antara lain anggota
DPRD bersikap adil, terbuka, akomodatif, responsif, dan profesional dalam
hubungan kemitraan, serta menghormati lembaga DPRD dan lembaga penyelenggara
pemerintahan lainnya.
Pasal 93
Pengaturan
mengenai penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, dan sanggahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3)
huruf c angka 6 memuat ketentuan antara lain memperhatikan
tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.
Pasal 94
Pengaturan
mengenai kewajiban anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3)
huruf c angka 7 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 95
Pengaturan
mengenai larangan bagi anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3)
huruf c angka 8 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 96
Pengaturan
mengenai hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh anggota DPRD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 9 memuat
ketentuan mengenai sikap, perilaku, dan ucapan
yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, kesopanan dan adat budaya
setempat.
Pasal 97
Pengaturan
mengenai sanksi dan mekanisme penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 ayat (3) huruf c angka
10 serta rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c angka 11
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
LARANGAN DAN
SANKSI
Bagian Kesatu
Larangan
Pasal 98
(1)
Anggota DPRD dilarang merangkap jabatan sebagai:
a.
pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
b.
hakim pada badan peradilan; atau
c.
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2)
Anggota DPRD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada
lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara,
notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD
serta hak sebagai anggota DPRD.
(3)
Anggota DPRD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
dilarang menerima gratifikasi.
Bagian Kedua
Sanksi
Pasal 99
(1)
Anggota DPRD
yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dikenai
sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2)
Anggota DPRD
yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD.
(3)
Anggota DPRD
yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD.
Pasal 100
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1)
berupa:
a.
teguran lisan;
b.
teguran tertulis; dan/atau
c.
diberhentikan
dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Pasal 101
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan
pengaduan kepada Badan Kehormatan dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa
terdapat anggota DPRD yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan/atau melanggar ketentuan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98.
BAB XII
PEMBERHENTIAN
ANTARWAKTU, PENGGANTIAN ANTARWAKTU, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA
Bagian Kesatu
Pemberhentian Antarwaktu
Pasal 102
(1) Anggota DPRD
berhenti antarwaktu karena:
a.
meninggal dunia;
b.
mengundurkan diri; atau
c.
diberhentikan.
(2) Anggota
DPRD diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap sebagai anggota DPRD selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD;
c.
dinyatakan
bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat
kelengkapan DPRD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
f.
tidak lagi
memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagai anggota DPRD
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan; atau
i.
menjadi anggota
partai politik lain.
(3)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) juga berlaku bagi anggota DPRD
yang berkedudukan sebagai pimpinan DPRD dan/atau pimpinan alat kelengkapan
DPRD.
Pasal 103
(1)
Pemberhentian
anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a dan huruf b
serta ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan
partai politik kepada pimpinan DPRD provinsi dengan tembusan kepada Menteri
Dalam Negeri bagi anggota DPRD provinsi dan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota
dengan tembusan kepada gubernur bagi anggota DPRD kabupaten/kota.
(2)
Paling lama 7
(tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD
provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh
peresmian pemberhentian.
(3)
Paling lama 7
(tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota
DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh
peresmian pemberhentian.
(4)
Paling lama 7
(tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), gubernur menyampaikan usul tersebut kepada Menteri Dalam Negeri.
(5)
Paling lama 7
(tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), bupati/walikota menyampaikan usul tersebut kepada gubernur.
(6)
Apabila setelah
7 (tujuh) hari gubernur atau bupati/walikota tidak menyampaikan usul
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5), pimpinan DPRD provinsi
langsung menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri
Dalam Negeri, atau pimpinan DPRD kabupaten/kota langsung menyampaikan usul
pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur.
(7)
Menteri Dalam
Negeri meresmikan pemberhentian anggota DPRD provinsi paling lama 14 (empat
belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD provinsi dari
gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau dari pimpinan DPRD provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8)
Gubernur
meresmikan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota paling lama 14 (empat
belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota
dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5), atau dari pimpinan
DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(9)
Peresmian
pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8)
berlaku sejak ditetapkan, kecuali peresmian pemberhentian anggota DPRD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) huruf c berlaku sejak tanggal
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 104
(1) Pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 102 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan
setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan
Badan Kehormatan atas pengaduan dari pimpinan DPRD, masyarakat, dan/atau
pemilih.
(2) Keputusan Badan Kehormatan mengenai pemberhentian anggota
DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada
rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan
Kehormatan yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pimpinan DPRD menyampaikan keputusan Badan Kehormatan kepada
pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan
keputusan dan usul pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD, paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak memberikan keputusan dan usul pemberhentian anggotanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD meneruskan keputusan Badan
Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Dalam Negeri
melalui gubernur bagi anggota DPRD provinsi dan kepada gubernur melalui
bupati/walikota bagi anggota DPRD kabupaten/kota paling lama 7 (tujuh) hari
setelah berakhirnya batas waktu penyampaian keputusan tentang pemberhentian
anggota DPRD dari pimpinan partai politik, untuk memperoleh peresmian
pemberhentian.
(6) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya keputusan
pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur menyampaikan
keputusan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD provinsi, dan
bupati/walikota menyampaikan keputusan tersebut kepada gubernur bagi anggota
DPRD kabupaten/kota.
(7) Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian anggota
DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 14 (empat belas)
hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD provinsi atau keputusan
pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari gubernur.
(8) Gubernur meresmikan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota atau keputusan
pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari bupati/walikota.
Bagian Kedua
Penggantian Antarwaktu
Pasal 105
(1) Anggota DPRD yang berhenti antarwaktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan
suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(2)
Dalam hal calon
anggota DPRD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengundurkan diri, meninggal dunia, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD, anggota DPRD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD yang memperoleh suara
terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan
yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPRD pengganti antarwaktu
melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD yang digantikannya.
Pasal 106
(1) Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD
provinsi yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti
antarwaktu dengan melampirkan fotokopi daftar calon tetap dan daftar peringkat perolehan
suara partai politik yang bersangkutan yang telah dilegalisir, kepada KPU
provinsi dengan tembusan kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(2) KPU provinsi menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pimpinan DPRD provinsi paling lambat
5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD provinsi.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon
pengganti antarwaktu dari KPU provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pimpinan DPRD provinsi setelah melakukan konfirmasi kepada pimpinan partai
politik yang bersangkutan, menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang
diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri
melalui gubernur untuk diresmikan pemberhentian dan pengangkatannya.
(4) Dalam hal KPU provinsi tidak menyampaikan nama calon
pengganti antarwaktu, atau menyampaikan nama pengganti antarwaktu yang tidak
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 105 ayat (1) atau ayat (2), pimpinan DPRD
provinsi berdasarkan hasil konfirmasi dengan pimpinan partai politik yang
bersangkutan, menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu dari partai politik
yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 105 ayat (1) atau ayat
(2) kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
(5) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak menerima nama anggota
DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4), gubernur mengusulkan penggantian antarwaktu kepada Menteri
Dalam Negeri untuk diresmikan pemberhentian dan pengangkatannya.
(6) Paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima usulan
penggantian antarwaktu dari gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian dan pengangkatan anggota DPRD
provinsi.
(7) Dalam hal gubernur tidak mengusulkan penggantian antarwaktu
kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri Dalam
Negeri meresmikan penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi berdasarkan
pemberitahuan dari pimpinan DPRD provinsi.
Pasal 107
(1)
Pimpinan DPRD
kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan
antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu dengan melampirkan
fotokopi daftar calon tetap dan daftar peringkat perolehan suara partai politik
yang bersangkutan yang telah dilegalisir, kepada KPU kabupaten/kota dengan
tembusan kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(2)
KPU
kabupaten/kota menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat
pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3)
Paling lambat 7
(tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD kabupaten/kota
setelah melakukan konfirmasi kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan,
menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon
pengganti antarwaktu kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk diresmikan
pemberhentian dan pengangkatannya.
(4)
Dalam hal KPU
kabupaten/kota tidak menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu, atau
menyampaikan nama pengganti antarwaktu yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 105 ayat (1) atau ayat (2), pimpinan DPRD kabupaten/kota berdasarkan
hasil konfirmasi dengan pimpinan partai politik yang bersangkutan, menyampaikan
nama calon pengganti antarwaktu dari partai politik yang bersangkutan sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 105 ayat (1) atau ayat (2) kepada gubernur melalui
bupati/walikota.
(5)
Paling lama 7
(tujuh) hari sejak menerima nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan
dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), bupati/walikota
mengusulkan penggantian antarwaktu kepada gubernur untuk diresmikan
pemberhentian dan pengangkatannya.
(6)
Paling lama 14
(empat belas) hari sejak menerima usulan penggantian antarwaktu dari
bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur meresmikan
pemberhentian dan pengangkatan anggota DPRD kabupaten/kota.
(7)
Dalam hal
bupati/walikota tidak mengusulkan penggantian antarwaktu kepada gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur meresmikan penggantian antarwaktu
anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan pemberitahuan dari pimpinan DPRD
kabupaten/kota.
Pasal 108
(1) Penggantian antarwaktu anggota DPRD tidak dilaksanakan
apabila sisa masa jabatan anggota DPRD kurang dari 6 (enam) bulan.
(2) Dalam hal pemberhentian antarwaktu anggota DPRD
dilaksanakan dalam waktu sisa masa jabatan anggota DPRD kurang dari 6 (enam)
bulan, pemberhentian anggota DPRD tersebut tetap diproses, dengan tidak
dilakukan penggantian.
(3) Keanggotaan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kosong sampai berakhirnya masa jabatan anggota DPRD.
Bagian Ketiga
Persyaratan dan Verifikasi Persyaratan
Pasal 109
(1) Calon anggota DPRD pengganti antarwaktu harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
warga negara Indonesia yang telah
berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
bertempat tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d.
cakap berbicara, membaca, dan menulis
dalam bahasa Indonesia;
e.
berpendidikan paling rendah tamat
Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f.
setia kepada Pancasila sebagai dasar
negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945;
g.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
h. sehat
jasmani dan rohani;
i.
terdaftar sebagai pemilih;
j.
bersedia bekerja penuh waktu;
k.
mengundurkan diri sebagai pegawai
negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha
milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara,
yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak
dapat ditarik kembali;
l.
bersedia untuk tidak berpraktik
sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah
(PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan
dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPRD provinsi atau
DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan;
m. bersedia
untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara atau pejabat daerah
lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n. menjadi
anggota partai politik peserta pemilu;
o.
dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga
perwakilan; dan
p.
dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah
pemilihan.
(2) Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPRD
pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a. kartu
tanda penduduk warga negara Indonesia;
b. bukti
kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat
keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program
pendidikan menengah;
c. surat
keterangan tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia setempat;
d. surat
keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani;
e. surat
tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f.
surat pernyataan tentang kesediaan
untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat
pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan
tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota
yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
h. surat
pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai pegawai negeri sipil,
anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara;
i.
kartu tanda anggota partai politik
peserta pemilu;
j.
surat pernyataan tentang kesediaan
hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan
yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; dan
k. surat pernyataan
tentang kesediaan hanya dicalonkan pada 1 (satu) daerah pemilihan yang
ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
(3) Selain kelengkapan berkas administrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), gubernur atau bupati/walikota dalam mengajukan usulan
penggantian antarwaktu anggota DPRD juga harus melampirkan:
a. usul pemberhentian
anggota DPRD karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2)
huruf e dan huruf i dari pimpinan partai politik disertai dengan dokumen
pendukung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik;
b.
usul
pemberhentian anggota DPRD karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102
ayat (2) huruf c dari pimpinan
partai politik disertai dengan salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
c. usul pemberhentian
anggota DPRD karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) huruf h dari pimpinan partai politik
disertai dengan salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dalam hal anggota partai politik yang bersangkutan mengajukan keberatan
melalui pengadilan; atau
d.
keputusan dan
usul pemberhentian sebagai anggota DPRD karena alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 102 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g dari
pimpinan partai politik berdasarkan keputusan Badan Kehormatan setelah dilakukan
penyelidikan dan verifikasi; dan
e. fotokopi daftar
calon tetap anggota DPRD pada pemilihan umum yang dilegalisir oleh KPU provinsi
bagi DPRD provinsi dan oleh KPU kabupaten/kota bagi DPRD kabupaten/kota; dan
f.
fotokopi daftar peringkat perolehan suara
partai politik yang mengusulkan penggantian antarwaktu anggota DPRD yang
dilegalisir oleh KPU provinsi bagi DPRD provinsi dan oleh KPU kabupaten/kota
bagi DPRD kabupaten/kota.
(4) Verifikasi kelengkapan berkas penggantian antarwaktu
anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dilakukan secara
fungsional oleh unit kerja di masing-masing lembaga/instansi sesuai
kewenangannya.
Bagian Keempat
Pemberhentian Sementara
Pasal 110
(1)
Anggota DPRD
diberhentikan sementara karena:
a.
menjadi terdakwa
dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2)
Pemberhentian
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diusulkan oleh pimpinan DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui
gubernur untuk anggota DPRD provinsi dan oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota
kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk anggota DPRD kabupaten/kota.
(3)
Apabila
setelah 7 (tujuh) hari sejak anggota DPRD provinsi ditetapkan sebagai terdakwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pimpinan DPRD provinsi tidak mengusulkan
pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretaris DPRD provinsi dapat melaporkan
status terdakwa anggota DPRD provinsi yang bersangkutan kepada gubernur.
(4)
Apabila
setelah 7 (tujuh) hari sejak anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan sebagai
terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pimpinan DPRD kabupaten/kota tidak
mengusulkan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
sekretaris DPRD kabupaten/kota dapat melaporkan status terdakwa anggota DPRD kabupaten/kota
yang bersangkutan kepada bupati/walikota.
(5)
Gubernur
berdasarkan laporan sekretaris DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
mengajukan usul pemberhentian sementara anggota DPRD provinsi yang bersangkutan
kepada Menteri Dalam Negeri.
(6)
Bupati/walikota
berdasarkan laporan sekretaris DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) mengajukan usul pemberhentian sementara anggota DPRD kabupaten/kota
yang bersangkutan kepada gubernur.
(7)
Menteri
Dalam Negeri memberhentikan sementara sebagai anggota DPRD provinsi atas usul
gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5), dan gubernur
memberhentikan sementara sebagai anggota DPRD kabupaten/kota atas usul
bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6).
(8)
Pemberhentian
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) berlaku terhitung mulai tanggal anggota DPRD yang bersangkutan ditetapkan
sebagai terdakwa.
(9)
Anggota DPRD
yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan berupa uang
representasi, uang paket, tunjangan keluarga, dan tunjangan beras serta
tunjangan pemeliharaan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 111
(1) Dalam hal anggota DPRD yang diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 berkedudukan sebagai pimpinan DPRD,
pemberhentian sementara sebagai anggota DPRD diikuti dengan pemberhentian
sementara sebagai pimpinan DPRD.
(2) Dalam hal pimpinan DPRD diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), partai politik asal pimpinan DPRD yang
diberhentikan sementara mengusulkan kepada pimpinan DPRD salah seorang anggota
DPRD yang berasal dari partai politik tersebut untuk melaksanakan tugas
pimpinan DPRD yang diberhentikan sementara.
Pasal 112
(1) Dalam hal anggota DPRD dinyatakan terbukti bersalah
karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1)
huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, anggota DPRD yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan
hormat sebagai anggota DPRD.
(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
mulai tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Dalam hal anggota DPRD dinyatakan tidak terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf a
atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka anggota DPRD yang bersangkutan diaktifkan kembali apabila
masa jabatannya belum berakhir.
BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 113
(1)
Pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD yang diduga
melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam
Negeri untuk anggota DPRD provinsi dan dari gubernur untuk anggota DPRD
kabupaten/kota.
(2)
Dalam hal
persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh
Menteri Dalam Negeri untuk anggota DPRD provinsi dan oleh gubernur untuk
anggota DPRD kabupaten/kota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPRD:
a.
tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b.
disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana
kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan
yang cukup; atau
c.
disangka melakukan tindak pidana khusus.
BAB XIV
ELAKSANAAN KONSULTASI
Pasal 114
(1) Konsultasi antara DPRD provinsi dengan pemerintah daerah
provinsi dilaksanakan dalam bentuk pertemuan antara pimpinan DPRD provinsi
dengan gubernur.
(2) Konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dengan pemerintah
daerah kabupaten/kota dilaksanakan dalam bentuk pertemuan antara pimpinan DPRD
kabupaten/kota dengan bupati/walikota.
(3) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilaksanakan dalam rangka:
a.
pembicaraan
awal mengenai materi muatan rancangan peraturan daerah dan/atau rancangan
kebijakan umum anggaran serta prioritas dan plafon anggaran sementara dalam
rangka penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. pembicaraan mengenai penanganan suatu masalah yang
memerlukan keputusan/kesepakatan bersama DPRD dan pemerintah daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan; atau
c. permintaan penjelasan mengenai kebijakan atau program
kerja tertentu yang ditetapkan atau dilaksanakan oleh kepala daerah.
(4)
Konsultasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pimpinan DPRD
didampingi oleh pimpinan alat kelengkapan DPRD yang terkait dengan materi
konsultasi dan kepala daerah didampingi oleh pimpinan perangkat daerah yang
terkait.
(5)
Konsultasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara berkala atau sesuai
dengan kebutuhan.
(6)
Konsultasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilaksanakan, baik atas
prakarsa pimpinan DPRD maupun kepala daerah.
(7)
Hasil konsultasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaporkan dalam rapat paripurna DPRD.
Pasal 115
BAB XV
PENERIMAAN PENGADUAN DAN PENYALURAN
ASPIRASI MASYARAKAT
Pasal 116
BAB XVI
PELAKSANAAN TUGAS KELOMPOK PAKAR ATAU TIM AHLI
Pasal 117
(1)
Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli.
(2)
Kelompok pakar atau tim ahli paling banyak sesuai dengan jumlah alat
kelengkapan DPRD.
(3)
Kelompok pakar atau tim ahli paling
sedikit memenuhi persyaratan:
a.
berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S1) dengan pengalaman kerja
paling singkat 5 (lima) tahun, strata dua (S2) dengan pengalaman kerja paling
singkat 3 (tiga) tahun, atau strata tiga (S3) dengan pengalaman kerja paling
singkat 1 (satu) tahun;
b.
menguasai bidang yang diperlukan; dan
c.
menguasai tugas dan fungsi DPRD.
(4)
Kelompok pakar
atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sesuai kebutuhan atas usul anggota DPRD.
(5)
Kelompok pakar
atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan
dengan keputusan sekretaris DPRD.
(6) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang
DPRD yang tercermin dalam alat kelengkapan DPRD.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 118
(1)
Peraturan DPRD
tentang Tata Tertib DPRD yang telah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini
diundangkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan DPRD
tentang Tata Tertib DPRD yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.
(2)
Peraturan DPRD
tentang Tata Tertib DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah
ditetapkan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak Peraturan Pemerintah ini
diundangkan.
(3)
Peraturan DPRD provinsi
tentang Tata Tertib DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditetapkan setelah terlebih
dahulu dikonsultasikan kepada Menteri Dalam Negeri.
(4)
Peraturan DPRD
kabupaten/kota tentang Tata Tertib DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ditetapkan setelah terlebih dahulu dikonsultasikan kepada
gubernur.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 119
Peraturan
Pemerintah ini berlaku pula sebagai pedoman penyusunan Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota
(DPRK) di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Provinsi Papua dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur
khusus dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Pasal 120
Pada saat
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004
tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 91, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4417) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4569), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 121
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Januari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 28 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS
AKBAR
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, Wisnu Setiawan
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 22
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2010
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA
TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
I.
UMUM
Sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat
yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip-prinsip kedaulatan
rakyat tersebut perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat baik di pusat maupun
di daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan
ketatanegaraan. Untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah bersama dengan pemerintah daerah yang
diharapkan mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membawa
perubahan yang sangat mendasar terhadap kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang, hak,
dan kewajiban DPRD.
Dalam
kapasitasnya, DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah mempunyai
kedudukan yang sama dengan pemerintah daerah dalam membangun dan mengusahakan
dukungan dalam penetapan kebijakan pemerintahan daerah, yang dapat menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat sehingga kebijakan dimaksud dapat diterima
oleh masyarakat luas.
Kedudukan dan
fungsi yang seimbang antara DPRD dan pemerintah daerah juga dimaksudkan agar
hubungan DPRD dengan pemerintah daerah dapat berjalan secara serasi dan tidak
saling mendominasi satu sama lain, dalam praktiknya dilaksanakan melalui
penyeimbangan antara mengelola dinamika politik di satu pihak dan tetap menjaga
stabilitas pemerintahan daerah di pihak lain, sehingga pola keseimbangan
pengelolaan pemerintahan daerah yang dilakukan dapat memberikan manfaat secara
signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.
Guna
meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja DPRD dalam mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan rakyat, serta guna mewujudkan peran DPRD dalam
mengembangkan check and balances antara DPRD dan pemerintah daerah,
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 325 ayat (1), Pasal 376 ayat (1),
Pasal 338, dan Pasal 389 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan Pemerintah ini ditetapkan untuk
menjadi pedoman bagi DPRD dalam menyusun Peraturan DPRD tentang Tata Tertib
DPRD.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pemilihan wakil
gubernur dilakukan oleh DPRD provinsi, wakil bupati/wakil walikota dilakukan
oleh DPRD kabupaten/kota, apabila masa jabatan wakil kepala daerah masih
tersisa 18 (delapan
belas) bulan atau lebih terhitung sejak kekosongan jabatan wakil gubernur/wakil
bupati/wakil walikota.
Huruf f
Yang dimaksud
dengan ”perjanjian internasional” dalam ketentuan ini adalah perjanjian antara
Pemerintah dan pihak luar negeri yang berkaitan dengan kepentingan daerah.
Huruf g
Yang dimaksud
dengan ”kerja sama internasional” dalam ketentuan ini adalah kerja sama antara
pemerintah daerah dan pihak luar negeri yang meliputi kerja sama provinsi,
kabupaten/kota ”kembar”, kerja sama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerja
sama penerusan pinjaman/hibah, kerja sama penyertaan modal, dan kerja sama
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Penentuan jumlah
anggota DPRD provinsi untuk setiap provinsi didasarkan pada jumlah penduduk
provinsi yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Nama anggota
DPRD provinsi terpilih berdasarkan hasil pemilihan umum yang ditetapkan dengan
keputusan KPU provinsi dan secara administratif dilakukan oleh KPU provinsi
serta dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur dan tembusannya
disampaikan kepada KPU.
Istilah
“melalui” dimaksudkan bahwa gubernur tidak boleh menilai keputusan KPU provinsi
melainkan hanya meneruskan keputusan KPU provinsi kepada Menteri Dalam Negeri.
Apabila gubernur tidak meneruskan kepada Menteri Dalam Negeri, KPU provinsi
langsung mengusulkan peresmian pengangkatan anggota DPRD provinsi kepada
Menteri Dalam Negeri.
Ayat (2)
Penentuan jumlah
anggota DPRD kabupaten/kota untuk setiap provinsi didasarkan pada jumlah
penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Nama anggota
DPRD kabupaten/kota terpilih berdasarkan hasil pemilihan umum yang ditetapkan
dengan keputusan KPU kabupaten/kota dan secara administratif dilakukan oleh KPU
kabupaten/kota serta dilaporkan kepada gubernur melalui bupati/walikota dan
tembusannya disampaikan kepada KPU provinsi.
Istilah
“melalui” dimaksudkan bahwa bupati/walikota tidak boleh menilai keputusan KPU
kabupaten/kota melainkan hanya meneruskan keputusan KPU kabupaten/kota kepada
gubernur. Apabila bupati/walikota tidak meneruskan kepada gubernur, KPU
kabupaten/kota langsung mengusulkan peresmian pengangkatan anggota DPRD
kabupaten/kota kepada gubernur.
Ayat (3)
Yang dimaksud
dengan “masa jabatan 5 (lima) tahun” adalah terhitung mulai tanggal pengucapan
sumpah/janji anggota DPRD, sehingga setelah melewati masa jabatan 5 (lima)
tahun sudah tidak lagi menjadi anggota DPRD. Oleh karena itu anggota DPRD yang
baru harus mengucapkan sumpah/janji pada saat berakhirnya masa jabatan anggota
DPRD yang lama.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud
dengan “hakim senior” adalah hakim yang memiliki pangkat/golongan ruang yang
tertinggi di pengadilan tinggi yang bersangkutan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud
dengan “hakim senior” adalah hakim yang memiliki pangkat/golongan ruang yang
tertinggi di pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Hak mengajukan rancangan peraturan daerah dimaksudkan
untuk mendorong anggota DPRD dalam menyikapi serta menyalurkan dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul
rancangan peraturan daerah.
Huruf b
Hak anggota DPRD
untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah
daerah sesuai dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD.
Huruf c
Hak anggota DPRD
untuk menyampaikan suatu usul dan pendapat secara leluasa baik kepada
pemerintah daerah maupun kepada DPRD sehingga ada jaminan kemandirian sesuai
dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap
anggota DPRD tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan
keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap
memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai
wakil rakyat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud
dengan “hak protokoler” adalah hak anggota DPRD untuk memperoleh penghormatan
berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara resmi
maupun dalam melaksanakan tugasnya.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Penyelenggaraan
orientasi dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah setempat, sekretariat DPRD, partai politik, atau
perguruan tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sarana” adalah alat tulis
kantor dan alat kelengkapan kantor, tidak termasuk sarana mobilitas.
Yang dimaksud dengan “anggaran” adalah kebutuhan
belanja untuk menunjang kegiatan rapat fraksi dan kebutuhan kesekretariatan.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Penyampaian calon pimpinan DPRD dari partai politik secara administratif
ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai politik atau jabatan lain
sesuai AD/ART pada partai politik setempat/sesuai dengan tingkatan wilayahnya
harus sesuai dengan rekomendasi dewan pimpinan pusat partai politik yang
bersangkutan.
Dalam hal penyampaian usul calon pimpinan DPRD yang diajukan oleh pimpinan
partai politik setempat/sesuai dengan tingkatan wilayahnya berbeda dengan
rekomendasi dari dewan pimpinan pusat partai politik yang bersangkutan, yang berlaku
adalah calon anggota DPRD yang direkomendasikan oleh dewan pimpinan pusat
partai yang bersangkutan.
Ayat (2)
Istilah “melalui”
dimaksudkan bahwa gubernur untuk calon pimpinan DPRD provinsi dan
bupati/walikota untuk calon pimpinan DPRD kabupaten/kota hanya meneruskan
keputusan DPRD yang ditandatangani oleh pimpinan sementara DPRD.
Apabila gubernur
tidak meneruskan keputusan DPRD provinsi tersebut kepada Menteri Dalam Negeri
dan bupati/walikota tidak meneruskan keputusan DPRD kabupaten/kota kepada
gubernur, pimpinan sementara DPRD provinsi dapat langsung mengusulkan peresmian
pengangkatan pimpinan DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan pimpinan
sementara DPRD kabupaten/kota dapat langsung mengusulkan peresmian pengangkatan
pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada gubernur.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “berhalangan sementara” adalah situasi dan kondisi yang
menyebabkan unsur pimpinan DPRD tidak dapat melaksanakan tugasnya.
Tidak
termasuk berhalangan sementara apabila anggota pimpinan DPRD dikenai
pemberhentian sementara sebagai anggota dan/atau pimpinan DPRD.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud
dengan “penyelesaiannya diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri” adalah
penetapan peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai payung hukum bagi pemberlakuan
APBD provinsi yang sama dengan tahun sebelumnya apabila tidak berhasil dibentuk
Peraturan Daerah tentang APBD.
Yang dimaksud dengan “penyelesaiannya diserahkan kepada gubernur” adalah
penetapan peraturan gubernur sebagai payung hukum bagi pemberlakuan APBD
kabupaten/kota yang sama dengan tahun sebelumnya apabila tidak berhasil dibentuk
Peraturan Daerah tentang APBD.
Ayat (7)
Penyelesaian
diserahkan kepada pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi yang dilakukan dalam bentuk
rapat konsultasi untuk menentukan kelanjutan dari rapat dimaksud.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada prinsipnya
semua naskah rancangan peraturan daerah harus disertai naskah akademik, tetapi
beberapa rancangan
peraturan daerah seperti rancangan peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah, rancangan peraturan daerah yang hanya terbatas mengubah beberapa materi yang sudah
memiliki naskah akademik sebelumnya, dapat disertai atau tidak disertai naskah
akademik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud
dengan “keadaan tertentu” adalah perlunya menindaklanjuti keputusan pejabat
atau lembaga yang berwenang mengenai pembatalan suatu peraturan daerah, atau
adanya kebutuhan untuk menindaklanjuti suatu kebijakan nasional atau peraturan
perundang-undangan yang bersifat segera.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Terkait dengan
ketentuan Pasal ini, dalam peraturan DPRD tentang kode etik dapat memuat
ketentuan seperti larangan menggunakan jabatan sebagai anggota DPRD untuk
mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, atau kelompoknya yang
mempunyai usaha atau melakukan penanaman modal dalam suatu bidang usaha,
larangan menggunakan jabatannya sebagai anggota DPRD untuk memengaruhi
pengambilan keputusan pada lembaga peradilan atau lembaga lain untuk
kepentingan pribadi atau kelompok, larangan menerima imbalan atau hadiah dari
pihak lain yang terkait dengan tugas dan wewenang DPRD, larangan menggunakan
anggaran DPRD untuk suatu kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas dan
wewenang DPRD, dan larangan menggunakan anggaran DPRD untuk suatu kegiatan yang
dibiayai pihak lain.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh
partai politiknya dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui
pengadilan, maka sesuai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, pemberhentian anggota partai politik yang bersangkutan sah
setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
dan proses pemberhentian antarwaktu dapat berlanjut setelah pemberhentiannya
sah.
Huruf i
Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai politik
lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah
pimpinan partai politik di provinsi untuk DPRD provinsi dan pimpinan partai
politik di kabupaten/kota untuk DPRD kabupaten/kota, sesuai dengan
rekomendasi/keputusan dewan pimpinan pusat partai politik yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dilegalisir” adalah dilegalisir
oleh KPU provinsi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 107
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dilegalisir” adalah dilegalisir
oleh KPU kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “unit kerja di masing-masing lembaga/instansi” adalah:
a.
unit kerja yang
ada di sekretariat DPRD provinsi, KPU provinsi, sekretariat daerah provinsi,
dan Kementerian Dalam Negeri, bagi penggantian antarwaktu anggota DPRD
provinsi;
b.
unit kerja yang
ada di sekretariat DPRD kabupaten/kota, KPU kabupaten/kota, sekretariat daerah
kabupaten/kota, dan sekretariat daerah provinsi, bagi penggantian antarwaktu
anggota DPRD kabupaten/kota.
Pasal 110
Ayat (1)
Status sebagai terdakwa dibuktikan dengan register
perkara di pengadilan negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Ayat (1)
Konsultasi pimpinan DPRD dengan pimpinan instansi
vertikal adalah dalam rangka menerima masukan dan memberikan saran/rekomendasi
mengenai permasalahan tertentu yang terjadi di daerahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa masa
kerja kelompok pakar atau tim ahli tidak tetap, atau sesuai dengan kegiatan
yang memerlukan dukungan kelompok pakar atau tim ahli. Dengan demikian
pemberian honorarium kepada kelompok pakar atau tim ahli didasarkan pada
kehadiran sesuai kebutuhan/kegiatan tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5104