PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 1998
TENTANG
KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN
ALAM
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan kekayaan alam yang
sangat tinggi nilainya, karena itu perlu dijaga keutuhan dan kelestarian
fungsinya untuk dapat dimanfaatkan bagi sebesar‑besarnya kemakmuran
rakyat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dan sebagai
pelaksanaan dari Undang‑undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; dipandang perlu mengatur kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat : 1. Pasal
5 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang‑Undang Dasar 1945;
2. Undang‑undang
Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang‑undang
Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2824);
4. Undang‑undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok‑pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang‑
…
5. Undang‑undang
Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260);
6. Undang‑undang
Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
7. Undang‑undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
8. Undang‑undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
9. Undang‑undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
10. Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan (Lembaran Negara Tahun
1970 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2945);
11. Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara
Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225);
12. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara
Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3294);
13. Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor
35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3441);
14. Peraturan
…
14. Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3544);
15. Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona
Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3550);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
dimaksud dengan:
1. Sumber
Daya Alam Hayati adalah unsur‑unsur hayati di alam yang terdiri dari
sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang
bersama‑sama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan
membentuk ekosistem.
2. Kawasan
Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di
perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan.
3. Kawasan
…
3. Kawasan
Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai
kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu
dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
4. Kawasan
Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya
dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
5. Kawasan
Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan
maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
6. Kawasan
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
7. Kawasan
Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan
dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli,
yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
8. Kawasan
Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.
9. Menteri
adalah menteri yang bertanggung jawab melaksanakan tugas pokok urusan kehutanan
dan perkebunan.
Pasal 2
…
Pasal 2
Konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang.
Pasal 3
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.
Pasal 4
Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dilakukan sesuai dengan fungsi
kawasan:
a. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan;
b. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya;
c. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 5
(1) Ketentuan tentang perlindungan sistem penyangga
kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri.
(2) Pengawetan
...
(2) Pengawetan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf b diatur sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali
ketentuan mengenai pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan, diatur
dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
(3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
huruf c diatur sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali
ketentuan mengenai pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa, dan pemanfaatan
kawasan dalam bentuk pengusahaan kegiatan kepariwisataan dan rekreasi pada zona
pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam diatur
dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
BAB II
KAWASAN
SUAKA ALAM
Bagian
Pertama
Penetapan
Kawasan
Pasal 6
Kawasan Suaka Alam tersendiri dari:
a. Kawasan
Cagar Alam, dan
b. Kawasan
Suaka Margasatwa.
Pasal 7
Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan
Cagar Alam atau Kawasan Suaka Margasatwa, setelah melalui tahapan kegiatan
sebagai berikut:
a. penunjukan
kawasan beserta fungsinya;
b. penataan …
b. penataan
batas kawasan, dan
c. penetapan
kawasan.
Pasal 8
Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan
Cagar Alam, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mempunyai
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistem;
b. mewakili
formasi biota tertentu dan atau unit‑unit penyusunnya;
c. mempunyai
kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum
diganggu manusia;
d. mempunyai
luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan
menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alam;
e. mempunyai
ciri khas potensi, dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya
memerlukan upaya konservasi; dan atau
f. mempunyai
komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang
keberadaannya terancam punah.
Pasal 9
Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan
Suaka Margasatwa apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. merupakan
tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya
konservasinya;
b. memiliki
keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
c. merupakan …
c. merupakan
habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan punah;
d. merupakan
tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan atau
e. mempunyai
luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.
Pasal
10
(1) Menteri menunjuk kawasan tertentu sebagai
Kawasan Cagar Alam atau Kawasan Suaka Margasatwa berdasarkan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9, dan setelah mendengar
pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
(2) Terhadap kawasan yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan penataan batas oleh sebuah Panitia Tata Batas
yang keanggotaan dan tata kerjanya ditetapkan oleh Menteri.
(3) Menteri menetapkan Kawasan Cagar Alam atau
Kawasan Suaka Margasatwa, berdasarkan Berita Acara Tata Batas yang
direkomendasikan oleh Panitia Tata Batas.
Bagian
Kedua
Pengelolaan
Paragraf
Satu
Rencana
Pengelolaan
Pasal
11
Pemerintah bertugas mengelola Kawasan
Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa.
Pasal
12 …
Pasal
12
Setiap Kawasan Cagar Alam atau Kawasan
Suaka Margasatwa dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan.
Pasal
13
(1) Atas dasar kepentingan keutuhan ekosistem,
pengelolaan satu atau lebih Kawasan Cagar Alam dan atau Kawasan Suaka
Margasatwa dapat ditetapkan sebagai satu kawasan pengelolaan, dengan satu
rencana pengelolaan.
(2) Dalam hal pengelolaan satu atau lebih Kawasan
Cagar Alam dan atau Kawasan Suaka Margasatwa ditetapkan sebagai satu kawasan
pengelolaan, maka rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
merupakan bagian tidak terpisahkan dari rencana pengelolaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal
14
(1) Rencana pengelolaan Kawasan Cagar Alam dan
Kawasan Suaka Margasatwa disusun berdasarkan kajian aspek‑aspek ekologi,
teknis, ekonomis, dan sosial budaya.
(2) Rencana pengelolaan Kawasan Cagar Alam dan
Kawasan Suaka Margasatwa sekurang‑kurangnya memuat tujuan pengelolaan,
dan garis‑garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan kawasan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang rencana
pengelolaan kawasan diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf
Dua …
Paragraf
Dua
Pengawetan
Pasal
15
Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka
Margasatwa dikelola dengan melakukan upaya pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan atau jenis satwa beserta ekosistemnya.
Pasal
16
Upaya
pengawetan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa dilaksanakan dalam
bentuk kegiatan:
a. perlindungan dan pengamanan kawasan;
b. inventarisasi potensi kawasan;
c. penelitian dan pengembangan dalam menunjang
pengawetan.
Pasal
17
(1) Selain kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, pada Kawasan Suaka Margasatwa juga dilakukan kegiatan dalam rangka
pembinaan habitat dan populasi satwa.
(2) Pembinaan habitat dan populasi satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa:
a. pembinaan padang rumput untuk makanan satwa;
b. pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat
berkubang dan mandi satwa;
c. penanaman dan pemeliharaan pohon‑pohon
pelindung dan pohon‑pohon sumber makanan satwa;
d. penjarangan
...
d. penjarangan
populasi satwa;
e. penambahan
tumbuhan atau satwa asli, dan atau
f. pemberantasan
jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan
pengawetan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa diatur dengan
Keputusan .
Pasal
19
(1) Upaya pengawetan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 dan Pasal 17 dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan
yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan
Suaka Margasatwa.
(2) Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan keutuhan kawasan, adalah:
a. melakukan perburuan terhadap satwa yang
berada di dalam kawasan;
b. memasukkan jenis‑jenis tumbuhan dan
satwa bukan asli ke dalam kawasan;
c. memotong, merusak, mengambil, menebang, dan
memusnahkan tumbuhan dan satwa dalam dan dari kawasan;
d. menggali atau membuat lubang pada tanah yang
mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam kawasan, atau
e. mengubah ...
e. mengubah bentang alam kawasan yang mengusik
atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa.
(3) Suatu kegiatan dapat dianggap sebagai tindakan
permulaan melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), apabila
melakukan perbuatan:
a. memotong, memindahkan, merusak atau
menghilangkan tanda batas kawasan; atau
b. membawa alat yang lazim digunakan untuk
mengambil, mengangkut, menebang, membelah, merusak, berburu, memusnahkan satwa dan
tumbuhan ke dan dari dalam kawasan.
(4) Kegiatan dalam rangka pembinaan habitat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tidak termasuk dalam pengertian kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3).
Paragraf Tiga
Pemanfaatan
Pasal 20
Kawasan
Cagar Alam dapat dimanfaatkan untuk keperluan:
a. penelitian dan pengembangan;
b. ilmu pengetahuan;
c. pendidikan; dan
d. kegiatan penunjang budidaya.
Pasal
21 …
Pasal
21
(1) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf a; meliputi:
a. penelitian
dasar; dan
b. penelitian
untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya.
(2) Ketentuan tentang kegiatan penelitian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri dan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang
berlaku.
Pasal
22
Kegiatan ilmu pengetahuan dan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b dan c dilakukan dalam bentuk
pengenalan dan peragaan ekosistem cagar alam.
Pasal
23
(1) Kegiatan penunjang budidaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf d dilakukan dalam bentuk pengambilan,
pengangkutan, dan atau penggunaan plasma nutfah tumbuhan dan satwa yang
terdapat dalam kawasan cagar alam;
(2) Ketentuan tentang pengambilan, pengangkutan,
dan penggunaan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri, dan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang
berlaku.
Pasal
24 …
Pasal
24
Kawasan
Suaka Margasatwa dapat dimanfaatkan untuk keperluan:
a. penelitian dan pengembangan;
b. ilmu pengetahuan;
c. pendidikan;
d. wisata alam terbatas; dan
e. kegiatan penunjang budidaya.
Pasal
25
(1) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 huruf a, meliputi:
a. penelitian
dasar;
b. penelitian
untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya.
(2) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri, dan dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Pasal
26
Kegiatan ilmu pengetahuan dan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b dan c dapat dilaksanakan dalam
bentuk pengenalan dan peragaan ekosistem suaka margasatwa.
Pasal
27 …
Pasal
27
(1) Wisata
alam terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d terbatas pada
kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati keindahan alam dan perilaku satwa
di dalam Kawasan Suaka Margasatwa dengan persyaratan tertentu.
(2) Persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
28
Kegiatan penunjang budidaya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 24 huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Pasal
29
Pelaksanaan pemanfaatan Kawasan Cagar
Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 dan Pasal 24 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19.
BAB III
KAWASAN
PELESTARIAN ALAM
Bagian
Pertama
Penetapan
Kawasan
Pasal
30 …
Pasal
30
(1) Kawasan Pelestarian Alam, terdiri dari:
a. Kawasan
Taman Nasional;
b. Kawasan
Taman Hutan Nasional;
c. Kawasan
Taman Wisata Alam.
(2) Berdasarkan sistem zonasi pengelolaannya
Kawasan Taman Nasional dapat dibagi atas:
a. zona
inti;
b. zona
pemanfaatan;
c. zona rimba; dan atau zona lain yang
ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumber daya atau hayati
dan ekosistemnya.
Pasal 31
(1) Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Taman
Nasional; apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang
cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;
b. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik
baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang
masih utuh dan alami;
c. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang
masih utuh;
d. memiliki keadaan alam yang asli dan alami
untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;
e. merupakan ...
e. merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam
zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan
kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan
dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
(2) Ditetapkan sebagai zona inti, apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya;
b. mewakili formasi biota tertentu dan atau unit‑unit
penyusunnya;
c. mempunyai kondisi alam, baik biota maupun
fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;
d. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu
agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses
ekologis secara alami;
e. mempunyai ciri khas potensinya dan dapat
merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;
f. mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa
beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
(3) Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan,
satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang
indah dan unik;
b. mempunyai ...
b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan
rekreasi alam;
c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung
upaya pengembangan pariwisata alam.
(4) Ditetapkan
sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya
perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi;
b. memiliki keanekaragaman jenis yang mampu
menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan;
c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis
satwa migran tertentu.
Pasal 32
Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan
Taman Hutan Raya, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. merupakan
kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang
ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah;
b. memiliki
keindahan alam dan atau gejala alam;
c. mempunyai
luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau
satwa, baik jenis asli dan atau bukan asli.
Pasal
33 …
Pasal
33
Suatu
kawasan ditetapkan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam, apabila telah
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mempunyai
daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem gelala gejala alam serta
formasi geologi yang menarik;
b. mempunyai
luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk
dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
c. kondisi
lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
Pasal
34
Penetapan Kawasan Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 10.
Bagian
Kedua
Pengelolaan
Paragraf
Satu
Rencana
Pengelolaan
Pasal
35
Pengelolaan Kawasan Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, dilakukan oleh Pemerintah.
Pasal
36 …
Pasal
36
Ketentuan tentang pengelolaan Kawasan
Cagar Alam dan Kawasan Suaka Suaka Margasatwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, Pasal 13, dan Pasal 14 berlaku terhadap pengelolaan Kawasan Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.
Paragraf
Dua
Pengawetan
Pasal
37
Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya
dan Taman Wisata Alam dikelola dengan melakukan upaya pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Pasal 38
Upaya pengawetan kawasan taman nasional
dilaksanakan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya.
Pasal 39
Upaya
pengawetan pada zona inti dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:
a. perlindungan dan pengamanan;
b. inventarisasi potensi kawasan;
c. penelitian dan pengembangan dalam menunjang
pengelolaan.
Pasal
40 …
Pasal
40
Upaya
pengawetan pada zona pemanfaatan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:
a. perlindungan dan pengamanan;
b. inventarisasi potensi kawasan;
c. penelitian dan pengembangan dalam menunjang
pariwisata alam.
Pasal
41
(1) Upaya
pengawetan pada zona rimba dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:
a. perlindungan dan pengamanan;
b. inventarisasi potensi kawasan;
c. penelitian dan pengembangan dalam menunjang
pengelolaan;
d. pembinaan habitat dan populasi satwa.
(2) Pembinaan
habitat dan populasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d,
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2).
Pasal
42
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawetan
Kawasan Taman Nasional diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
43 …
Pasal
43
(1) Upaya pengawetan Kawasan Taman Hutan Raya
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:
a. perlindungan
dan pengamanan;
b. inventarisasi
potensi kawasan;
c. penelitian
dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan;
d. pembinaan
dan pengembangan tumbuhan dan atau satwa.
(2) Pembinaan dan pengembangan tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, adalah untuk tujuan koleksi.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengawetan
Kawasan Taman Hutan Raya diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 44
(1) Upaya
pengawetan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam
dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan fungsi kawasan.
(2) Termasuk
dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi Kawasan
Taman Nasional atau Taman Hutan Raya, adalah:
a. merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk
ekosistemnya;
b. merusak keindahan alam dan gejala alam;
c. mengurangi luas kawasan yang telah
ditentukan;
d. melakukan ...
d. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai
dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat
persetujuan dari pejabat yang berwenang.
(3) Suatu
kegiatan, dapat dianggap sebagai tindakan permulaan melakukan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), apabila melakukan perbuatan:
a. memotong, memindahkan, merusak atau
menghilangkan tanda batas kawasan;
b. membawa alat yang lazim digunakan untuk
mengambil, menangkap, berburu, menebang, merusak, memusnahkan dan mengangkut
sumber daya alam ke dan dari dalam kawasan.
(4) Kegiatan
dalam rangka pengawetan pada zona inti taman nasional termasuk dalam pengertian
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi Kawasan Taman Nasional,
apabila kegiatan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2).
Pasal
45
(1) Upaya pengawetan Kawasan Taman Wisata Alam
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:
a. perlindungan
dan pengamanan;
b. inventarisasi
potensi kawasan;
c. penelitian dan pengembangan yang menunjang
pelestarian potensi;
d. pembinaan
habitat dan populasi satwa.
(2) Pembinaan
...
(2) Pembinaan habitat dan populasi satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, meliputi kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengawetan
Kawasan Taman Wisata Alam diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
46
Termasuk dalam pengertian kegiatan yang
dapat mengakibatkan perubahan fungsi Kawasan Taman Wisata Alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) adalah:
a. berburu,
penebang pohon, pengangkut kayu dan satwa atau bagian‑bagiannya di dalam
dan ke luar kawasan, serta memusnahkan sumber daya alam di alam kawasan;
b. melakukan
kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran kawasan;
c. melakukan
kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana
pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pajabat yang berwenang.
Pasal 47
Kegiatan dalam rangka pembinaan habitat
dan populasi satwa pembinaan dan pengembangan tumbuhan atau satwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasl 41 ayat (1) huruf d dan pasal 43 ayat (1) huruf d, tidak
termasuk dalam pengertian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 46.
Paragraf …
Paragraf Tiga
Pemanfaatan
Pasal 48
Kawasan Tamanan Nasional dapat
dimanfaatkan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya.
Pasal 49
(1) Zona
inti dapat dimanfaatkan untuk keperluan:
a. penelitian
dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;
b. ilmu
pengetahuan;
c. pendidikan;
dan atau
d. kegiatan
penunjang budidaya.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal
22, dan Pasal 23.
Pasal
50
(1) Zona Pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk
keperluan:
a. pariwisata
alam dan rekreasi;
b. penelitian
dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;
c. pendidikan;
dan atau
d. kegiatan
penunjang budidaya.
(2) Kegiatan
...
(2) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b dan huruf d. dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dan Pasal
28.
(4) Kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf c dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil‑hasil
penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan tersebut.
Pasal
51
(1) Zona Rimba dapat dimanfaatkan untuk keperluan:
a. penelitian
dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;
b. ilmu
pengetahuan;
c. pendidikan;
d. kegiatan
penunjang budidaya;
e. wisata
alam terbatas.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal
26, Pasal 27, dan Pasal 28.
Pasal
52
(1) Kawasan Taman Hutan Raya dapat dimanfaatkan
untuk keperluan:
a. penelitian
dan pengembangan;
b. ilmu ...
b. ilmu
pengetahuan;
c. pendidikan;
d. kegiatan
penunjang budidaya;
e. pariwisata
alam dan rekreasi;
f. pelestarian
budaya.
(2) Kegiatan penelitian dan pengembangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi:
a. penelitian
dasar;
b. penelitian
untuk menunjang pengelolaan dan budidaya.
(3) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri dan dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, c dan d, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 26 dan Pasal 28.
(5) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dilaksanakan sesuai dengan
peraturan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
(6) Kegiatan pelestarian budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang kebudayaan.
Pasal
53
(1) Sesuai dengan fungsinya, taman wisata alam
dapat dimanfaatkan untuk keperluan:
a. pariwisata
...
a. pariwisata alam dan rekreasi;
b. penelitian dan pengembangan;
c. pendidikan;
d. kegiatan
penunjang budidaya.
(2) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
(3) Kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf c dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil‑hasil
penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan tersebut.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b dan d, dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 25 dan Pasal 28.
Pasal
54
Pelaksanaan pemanfaatan kawasan Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam untuk keperluan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49, Pasal 50,
Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53, dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 dan Pasal 46.
BAB IV …
BAB IV
PENUTUPAN KAWASAN
Pasal 55
(1) Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan
dalam rangka mempertahankan dan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, pemerintah dapat menghentikan kegiatan tertentu dan
atau menutup Kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan
Raya, dan Taman Wisata Alam sebagian atau seluruhnya untuk jangka waktu
tertentu.
(2) Kriteria dan tata cara penghentian kegiatan dan
atau penutupan kawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
BAB V
DAERAH PENYANGGA
Pasal 56
(1) Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga
Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam dari segala bentuk tekanan
dan gangguan yang berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat
mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan.
(2) Penetapan daerah penyangga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) didasarkan pada kriteria sebagai berikut:
a. secara ...
a. secara geografis berbatasan dengan Kawasan
Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam;
b. secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik
dari dalam maupun dari luar Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian
Alam;
c. mampu menangkal segala macam gangguan baik
dari dalam maupun dari luar Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam.
(3) Penetapan tanah negara bebas maupun tanah yang
dibebani dengan suatu hak (alas titel) sebagai daerah penyangga, ditetapkan
oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
yang bersangkutan.
(4) Penetapan daerah penyangga dilakukan dengan
tetap menghormati hak‑hak yang dimiliki oleh pemegang hak.
(5) Pengelolaan daerah penyangga yang bukan kawasan
hutan tetap berada pada pemegang hak dengan tetap memperhatikan ketentuan ayat
(2) huruf b.
(6) Kriteria dan tata cara penetapan kawasan hutan
sebagai daerah penyangga diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
57
Untuk
membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan:
a. peningkatan
pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;
b. peningkatan …
b. peningkatan
pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat;
c. rehabilitasi lahan;
d. peningkatan
produktivitas lahan;
e. kegiatan
lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BAB VI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 58
Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan
Pelestarian Alam yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang‑undangan
yang berlaku sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dianggap telah
ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal
59
Pada saat mulai berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, semua peraturan perundang‑undangan di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang telah ada sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini.
BAB VII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
60
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar …
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia
Ditetapkan
di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 1998
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN
JUSUF HABIBIE
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 19 Agustus 1998
MENTERI
NEGARA SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1998 NOMOR 132
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 1998
TENTANG
KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN
ALAM
UMUM
Bangsa
Indonesia dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang tinggi keanekaragaman dengan keunikan, keaslian, dan
keindahan merupakan kekayaan alam yang sangat potensial.
Sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya yang potensial itu dapat dijadikan salah satu
modal dasar pembangunan nasional Indonesia yang berkelanjutan. Karena itu perlu
dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar‑besarnya kesejahteraan rakyat,
melalui upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga
tercapai keseimbangan dan keserasian antara aspek perlindungan, pengawetan, dan
pemanfaatan secara lestari.
Upaya
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya itu antara lain ditempuh
melalui penetapan wilayah‑wilayah tertentu baik di daratan dan atau
perairan sebagai Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam, yang
merupakan perwakilan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, keutuhan sumber
plasma nutfah, keseimbangan ekosistem, keunikan dan keindahan alam sehingga
lebih dapat mendukung pembangunan dan menunjang peningkatan kesejahteraan
rakyat serta pelestarian lingkungan hidup.
Upaya
konservasi tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh kiprah
pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh berbagai sektor. Pelaksanaan
pembangunan nasional itu sendiri telah berhasil meningkatkan kesejahteraan
rakyat dan mampu mengembangkan berbagai bidang kegiatan masyarakat, sehingga
kebutuhan hidupnya semakin beragam.
Sejajar
…
Sejajar
dengan kemajuan dan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, maka pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi semakin terasa perlu digalakkan.
Dalam
hubungan ini, Kawasan Suakan Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang memiliki
potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sangat penting peranannya
untuk dijadikan obyek penelitian dan pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang
budidaya, disamping dapat dimanfaatkan sebagai wahana pengembangan budidaya,
pariwisata alam dan rekreasi serta sarana pemantapan fungsi hidrologisnya, pencegahan bencana banjir, erosi dan pemeliharaan
kesuburan tanah serta fungsinya sebagai plasma nutfah.
Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pada hakikatnya merupakan
salah satu aspek pembangunan yang berkelanjutan serta berwawasan lingkungan,
sehingga dampaknya sangat positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan
rakyat, yang sekaligus akan meningkatkan pula pendapatan negara dan penerimaan
devisa negara, yang pada gilirannya dapat memajukan hidup dan kehidupan bangsa.
Oleh
karena itu, pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, tidak
hanya didasarkan pada prinsip konservasi untuk konservasi itu sendiri, tetapi
konservasi untuk kepentingan bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia.
Mengingat
akan kepentingan itu, dan sebagai pelaksanaan Undang‑undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maka perlu ada
landasan hukum bagi penetapan dan pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
…
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal
10 …
Pasal
10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal
11
Cukup jelas
Pasal
12
Cukup jelas
Pasal
13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal
15 …
Pasal
15
Cukup jelas
Pasal
16
Huruf a
Dalam pengelolaan cagar alam sangat
sedikit campur tangan manusia, oleh karenanya bobot pengelolaannya lebih
ditekankan pada perlindungan dari luar kawasan seperti serangan hama, penyakit,
kebakaran, dan pencemaran yang berasal dari luar kawasan. Selain itu, dilakukan
upaya pengamanan untuk menjaga dan mencegah gangguan manusia, seperti:
perambahan kawasan, pencurian, dan pembakaran.
Huruf b
Dalam menunjang pengawetan cagar
alam diperlukan data dan informasi awal tentang potensi kawasan. Oleh karenanya
diperlukan inventarisasi tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Huruf c
Dalam menunjang pengawetan cagar
alam, kegiatan penelitian dan pengembangan, sangat penting, untuk mengetahui
proses‑proses ekologi yang terjadi, diantaranya siklus energi, siklus
hara, siklus air, interaksi antar dan inter spesies baik tumbuhan maupun satwa.
Dengan demikian, keutuhan kawasan dapat diketahui secara kuantitatif, dan
perkembangannya dapat dipantau.
Pasal
17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pembinaan
habitat dan populasi satwa adalah kegiatan‑kegiatan yang dilakukan oleh
petugas yang berwenang dengan tujuan untuk menjaga keberadaan populasi satwa
tertentu dalam keadaan seimbang dengan dayadukungnya melalui kegiatan seperti pembinaan vegetasi, pembinaan
populasi
…
populasi satwa, pengadaan sumber air
minum, tempat mandi atau berkubang, penjarangan populasi satwa serta penambahan
tumbuhan dan satwa asli dalam upaya pemutihan populasi dan keragaman jenisnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
18
Cukup jelas
Pasal
19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal
20
Cukup jelas
Pasal
21
Ayat (1)
Huruf a
Penelitian
dasar yaitu penelitian yang hasilnya untuk mendukung penelitian terapan yang
diperlukan untuk menunjang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa serta budidayanya di luar kawasan, seperti penelitian perilaku satwa,
dominasi …
dominasi tumbuhan dan atau
satwa, dan penilaian‑penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf c.
Huruf b
Penelitian
untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya ditujukan terhadap seleksi jenis
tumbuhan dan satwa yang karena kandungannya dapat dimanfaatkan misalnya untuk
obat‑obatan, sebagai benih atau bibit unggul dalam menunjang peningkatan
produksi pangan, sandang dan papan, serta perbanyakan dan peningkatan kualitas
jenis melalui rekayasa genetik.
Kegiatan
penelitian tersebut lebih banyak di luar kawasan, sedangkan dalam kawasan cukup
mengambil contoh spesimen.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ketentuan
peraturan perundang‑undangan yang berlaku adalah ketentuan yang mengatur
tentang tata cara dan instansi yang berwenang memberi rekomendasi dan atau izin
untuk melaksanakan penelitian.
Kewenangan yang terkait dengan
penelitian ini yang sekarang dikoordinasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, tidak mengurangi kewenangan Menteri untuk mengatur tata cara
pelaksanaan penelitian yang sasaran penelitiannya berlokasi pada Kawasan Cagar
Alam pada khususnya atau kawasan hutan pada umumnya.
Pasal
22
Yang dimaksud dengan pengenalan ekosistem
cagar alam adalah pengenalan secara langsung di lapangan baik tipe ekosistemnya
maupun pengenalan jenis tumbuhan dan atau satwanya.
Yang dimaksud dengan peragaan ekosistem
cagar alam adalah wujud fisik dan fungsinya dapat
dilihat secara visual baik melalui material asli seperti specimen helbarium dan
satwa, maupun audiovisual, multi medium, dan slide.
Pasal
23 …
Pasal
23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pelaksanaan kegiatan yang
berhubungan dengan plasma nutfah terikat kepada ketentuan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman.
Pasal
24
Cukup jelas
Pasal
25
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 21 ayat (1)
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 21 ayat (2)
Pasal
26
Cukup jelas
Pasal
27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
28
Cukup jelas
Pasal
29 …
Pasal
29
Cukup jelas
Pasal
30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan zona‑zona pada
Kawasan Taman Nasional dilakukan secara variatif sesuai dengan kebutuhan
pengelolaan kawasan taman nasional, karena itu penetapan zona‑zona
tersebut tidak selalu harus lengkap sesuai dengan pembagian pada ayat ini,
karena itu pembagian zona tidak selalu sama pada setiap Kawasan Taman Nasional.
Pasal
31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud ekosistem yang
masih utuh yaitu ekosistem yang keadaannya relatif masih asli, demikian pula
keadaan unsur‑unsur biotik dan fisiknya, serta interaksinya masih mampu
memberikan fungsi ekologis.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Ckup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat
(3) …
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal
32
Cukup jelas
Pasal
33
Cukup jelas
Pasal
34
Cukup jelas
Pasal
35
Cukup jelas
Pasal
36
Cukup jelas
Pasal
37
Cukup jelas
Pasal
38
Cukup jelas
Pasal
39
Cukup jelas
Pasal
40 …
Pasal
40
Cukup jelas
Pasal
41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
42
Cukup jelas
Pasal
43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal
44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal
45 …
Pasal
45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Huruf
46
Huruf a
Memusnahkan sumber daya alam misalnya dengan melakukan
pembakaran menyebarkan racun, dan menggunakan bahan peledak (amunisi).
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal
47
Cukup jelas
Pasal
48
Cukup jelas
Pasal
49
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
50 …
Pasal
50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal
51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal
53 …
Pasal
53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal
54
Cukup jelas
Pasal
55
Ayat (1)
Jumlah pengunjung yang masuk ke dalam kawasan disesuaikan
dengan daya dukung kawasan yang bersangkutan. Dalam rangka pengendalian
pengunjung masuk ke dalam kawasan, Pemerintah menetapkan syarat dan tata cara
memasuki kawasan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal
56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat
(4) …
Ayat (4)
Pengertian menghormati hak yang
dimiliki orang adalah suatu pengertian yang mengandung arti menghargai,
menjunjung tinggi, mengakui dan menaati peraturan yang berlaku terhadap hak
yang dimiliki orang lain.
Yang dimaksud dengan hak yang
dimiliki orang adalah segala kepentingan hukum yang diperoleh atau dimiliki
berdasarkan peraturan perundang‑undangan, hukum adat atau kebiasaan yang
berlaku. Kepentingan hukum tersebut antara lain berupa pemilikan atau
penguasaan tanah atas dasar sesuatu hak yang diakui dalam Undang‑undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‑pokok Agraria.
Ayat (5)
Ketentuan‑ketentuan
tentang hak dan kewajiban pemegang hak atas daerah penyangga bukan kawasan
hutan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal
57
Cukup jelas
Pasal
58
Cukup jelas
Pasal
59
Cukup jelas
Pasal
60
Cukup jelas
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3776