KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 150 TAHUN 1959
TENTANG
KEMBALI KEPADA
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA
TERTINGGI ANGKATAN PERANG.
Dengan ini menyatakan
dengan khidmat :
Bahwa anjuran Presiden dan
Pemerintah untuk kembali kepada Undang‑undang Dasar 1945, yang
disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal
22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana
ditentukan dalam Undang‑undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan
pernyataan sebagian terbesar Anggota‑anggota Sidang Pembuat Undang‑undang
Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi
menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Rakyat kepadanya:
Bahwa hal yang demikian
menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan
Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur;
Bahwa dengan dukungan
bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami
terpaksa menempuh satu‑satunya jalan untuk menyelamatkan Negara
Proklamasi;
Bahwa kami berkeyakinan
bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang‑undang Dasar
1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian‑kesatuan dengan Konstitusi
tersebut,
Maka atas dasar‑dasar
tersebut di atas,
Kami Presiden Republik
Indonesia/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang.
Menetapkan pembubaran
Konstituante;
Menetapkan Undang‑undang
Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak
berlakunya lagi Undang‑undang Dasar Sementara.
Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota‑anggota
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan
utusan‑utusan dari daerah‑daerah dan golongan, serta pembentukan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang
sesingkat‑singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta
pada
tanggal 5 Juli 1959
Atas nama
Rakyat Indonesia :
Presiden
Republik Indonesia/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang,
SOEKARNO.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1959 NOMOR 75.
CATATAN
UNDANG‑UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945.
PEMBUKAAN.
(Preambule).
Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan.
Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur.
Atas
berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang‑Undang
Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan berada, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
UNDANG‑UNDANG DASAR.
BAB I.
BENTUK DAN KEDAULATAN.
Pasal 1.
(1) Negara
Indonesia ialah Negara kesatuan, yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
BAB II.
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT.
Pasal 2.
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas
anggota anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan‑utusan
dari Daerah‑daerah dan golongan‑golongan menurut aturan yang
ditetapkan dengan Undang‑undang.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang
sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu‑kota Negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
Pasal 3.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang‑undang Dasar dan garis‑garis
besar dari pada haluan Negara.
BAB III.
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA.
Pasal 4.
(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
Pemerintahan menurut Undang‑undang Dasar.
(2) Dalam melakukan
kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
Pasal 5.
(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang‑undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan Undang‑undang sebagaimana mestinya.
Pasal
6.
(1) Presiden ialah orang Indonesia asli.
(2) Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara
yang terbanyak.
Pasal
7.
Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Pasal
8.
Jika Presiden mangkat, berhenti atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil
Presiden sampai habis waktunya.
Pasal
9.
Sebelum memangku jabatannya,
Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan
sungguh‑sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
,,Demi Allah, saya bersumpah akan
memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik
Indonesia) dengan sebaik‑baiknya dan seadil‑adilnya, memegang teguh
Undang‑undang Dasar dan menjalankan segala Undang‑undang dan
Peraturannya dengan selurus‑lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan
Bangsa".
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
,,Saya berjanji dengan sungguh‑sungguh
akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik
Indonesia) dengan sebaik‑baiknya dan seadil‑adilnya, memegang teguh
Undang‑undang Dasar dan menjalankan segala Undang‑undang dan
Peraturannya dengan selurus‑lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan
Bangsa".
Pasal 10.
Presiden
memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
angkatan Udara.
Pasal 11.
Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
Pasal 12.
Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat‑syarat dan
akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang‑undang.
Pasal 13.
(1) Presiden
mengangkat Duta dan Konsul.
(2) Presiden
menerima Duta Negara lain.
Pasal 14.
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi.
Pasal 15.
Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain‑lain
tanda kehormatan.
BAB IV.
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG.
Pasal 16.
(1) Susunan Dewan
Pertimbangan Agung ditetapkan dengan Undang‑Undang.
(2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas
pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada Pemerintah.
BAB V.
KEMENTERIAN NEGARA.
Pasal 17.
(1) Presiden
dibantu oleh Menteri‑menteri Negara.
(2) Menteri‑menteri
itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
(3) Menteri‑menteri
itu memimpin Departemen Pemerintahan.
BAB VI.
PEMERINTAH DAERAH.
Pasal 18.
Pembagian
Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang‑undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistim Pemerintahan Negara, dan hak‑hak
asal‑usul dalam Daerah‑daerah yang bersifat Istimewa.
BAB VII.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.
Pasal 19.
(1) Susunan Dewan
Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan Undang‑undang.
(2) Dewan
Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Pasal 20.
(1) Tiap‑tiap Undang‑undang
menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan Undang‑undang
tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak
boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 21.
(1) Anggota‑anggota Dewan Perwakilan Rakyat
berhak mengajukan rancangan Undang‑undang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi
tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 22.
(1) Dalam hal‑ikhwal kepentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti
Undang‑undang.
(2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka
Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
BAB VIII.
HAL KEUANGAN.
Pasal 23.
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan
tiap‑tiap tahun dengan Undang‑undang. Apabila Dewan Perwakilan
Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah
menjalankan anggaran tahun yang lalu.
(2) Segala pajak
untuk keperluan negara berdasarkan Undang‑undang.
(3) Macam dan harga
mata uang ditetapkan dengan Undang‑undang.
(4) Hal keuangan
negara selanjutnya diatur dengan Undang‑undang.
(5) Untuk memeriksa tanggung‑jawab tentang
keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya
ditetapkan dengan Undang‑undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
BAB IX.
KEKUASAAN KEHAKIMAN.
Pasal 24.
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain‑lain Badan Kehakiman menurut Undang‑undang.
(2) Susunan dan kekuasaan Badan‑badan
Kehakiman itu diatur dengan Undang‑undang.
Pasal 25.
Syarat‑syarat
untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang‑undang.
BAB X.
WARGA NEGARA.
Pasal 26.
(1) Yang menjadi Warga Negara ialah orang‑orang
bangsa Indonesia asli dan orang‑orang bangsa lain yang disyahkan dengan
Undang‑undang sebagai Warga Negara.
(2) Syarat‑syarat
yang mengenai kewarga‑ negaraan ditetapkan dengan Undang‑undang.
Pasal 27.
(1) Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di
dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintah itu dengan
tidak ada kecualinya.
(2) Tiap‑tiap Warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
BAB XI.
AGAMA.
Pasal 28.
Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan Undang‑undang.
Pasal 29.
(1) Negara berdasarkan atas ke‑Tuhanan Yang
Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap‑tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing‑masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
BAB XII.
PERTAHANAN NEGARA.
Pasal 30.
(1) Tiap‑tiap
Warga Negara berhak dan wajib ikut‑serta dalam usaha pembelaan Negara.
(2) Syarat‑syarat
tentang pembelaan diatur dengan Undang‑undang.
BAB XIII.
PENDIDIKAN.
Pasal 31.
(1) Tiap‑tiap
Warga Negara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistim pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang‑undang.,
Pasal
32.
Pemerintah
memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
BAB XIV.
KESEJAHTERAAN SOSIAL.
Pasal 33.
(1) Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
(2) Cabang‑cabang produksi yang penting bagi
Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar‑besar
kemakmuran Rakyat.
Pasal 34.
Fakir miskin dan anak‑anak yang terlantar
dipelihara oleh Negara.
BAB XV.
BENDERA DAN BAHASA.
Pasal 35.
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
Pasal 36.
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
BAB XVI.
PERUBAHAN UNDANG‑UNDANG DASAR.
Pasal 37.
(1) Untuk mengubah Undang‑undang Dasar
sekurang‑kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang‑kurangnya
2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir.
ATURAN PERALIHAN.
Pasal I.
Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan
pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia.
Pasal II.
Segala
Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang‑undang Dasar itu.
Pasal III.
Untuk
pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.
Pasal IV.
Sebelum
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan
Agung dibentuk menurut Undang‑undang Dasar ini, segala kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.
ATURAN TAMBAHAN.
(1) Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan
Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal
yang ditetapkan dalam Undang‑undang Dasar ini.
(2) Dalam enam bulan sesudah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang‑undang
Dasar.
PENJELASAN
TENTANG UNDANG‑UNDANG DASAR
NEGARA
INDONESIA.
UMUM.
I. Undang‑undang Dasar, sebagian dari
hukum dasar.
Undang‑undang
Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang‑undang
Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang‑undang
Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan‑aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara,
meskipun tidak ditulis.
Memang
untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionnel) suatu negara, tidak cukup
hanya menyelidiki pasal‑pasal Undang‑undang Dasarnya (loi
constituionnelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga sebagaimana
prakteknya dan sebagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari
Undang‑undang Dasar itu.
Undang‑undang
Dasar Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja.
Untuk mengerti sungguh‑sungguh maksudnya Undang‑undang Dasar dari
suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus
diketahui, keterangan‑keterangannya dan juga harus diketahui dalam
suasana apa teks itu dibikin.
Dengan
demikian kita dapat mengerti apa maksudnya Undang‑undang yang kita
pelajari aliran pikiran apa yang menjadi dasar Undang‑undang itu.
II. Pokok‑pokok
pikiran dalam pembukaan.
Apakah pokok‑pokok
yang terkandung dalam pembukaan Undang‑undang Dasar.
1. ,,Negara" begitu bunyinya ‑ yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dalam
pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara persatuan, Negara yang
melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala
paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan, Negara, menurut pengertian
,pembukaan" itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia
seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.
2. Negara hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam
"pembukaan" ialah negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas
kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistim negara yang
terbentuk dalam Undang‑undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan Rakyat
dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan
sifat masyarakat Indonesia.
4. Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung
dalam pembukaan ialah negara berdasar atas ke‑Tuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karna itu
Undang‑undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan
lain‑lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan
yang luhur dan memegang teguh cita‑cita moral rakyat yang luhur.
III. Undang‑undang Dasar menciptakan pokok‑pokok
pikiran
yang
terkandung dalam "pembukaan" dalam pasal‑pasalnya.
Pokok‑pokok
pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang‑undang Dasar
Indonesia. Pokok‑pokok pikiran ini mewujudkan cita‑cita hukum
(Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis
(Undang‑undang Dasar), maupun hukum yang tidak tertulis.
Undang‑undang
Dasar menciptakan pokok‑pokok pikiran ini dalam pasal‑pasalnya.
IV. Undang‑undang Dasar bersifat singkat dan supel.
Undang‑undang
Dasar hanya memuat 37 pasal. Pasal‑pasal lain hanya memuat peralihan dan
tambahan. Maka rencana ini sangat singkat jika dibandingkan misalnya dengan
Undang‑undang dasar Filipina.
Maka
telah cukup jikalau Undang‑undang Dasar hanya memuat aturan‑aturan
pokok, hanya memuat garis‑garis besar sebagai instruksi, kepada
Pemerintah Pusat dan lain‑lain penyelenggara Negara untuk
menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan sosial.
Terutama bagi negara baru dan Negara Muda, lebih baik
hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan‑aturan pokok, sedang
aturan‑aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada
undang‑undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut.
Demikianlah
sistim Undang‑undang Dasar.
Kita
harus senantiasa ingat kepada dinamik kehidupan masyarakat dan negara
Indonesia. Masyarakat dan Negara Indonesia tumbuh, zaman berubah terutama pada
zaman revolusi lahir batin sekarang ini.
Oleh
karena itu kita harus hidup secara dinamis, harus melihat segala gerak‑gerik
kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia. Berhubung dengan itu janganlah
tergesa‑gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk, (Gestaltung) kepada
pikiran‑pikiran yang masih mudah berubah.
Memang
sifat aturan yang tertulis itu mengikat. Oleh karena itu, makin
"supel" (Elastic) sifatnya aturan itu makin baik. Jadi kita harus
menjaga supaya sistim Undang‑undang Dasar jangan sampai ketinggalan
zaman. Jangan sampai kita membikin Undang‑undang yang lekas usang
("verouderd"). Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup
Negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara Negara, semangat para
Pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang‑undang Dasar yang menurut
kata‑katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara
Negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang‑undang
Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek. Sebaliknya meskipun Undang‑undang
Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara
pemerintahan baik, Undang‑undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi
jalannya Negara. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu
hidup, atau dengan lain perkataan, dinamic. Berhubung dengan itu, hanya aturan‑aturan
pokok‑pokok saja harus ditetapkan dalam Undang‑undang Dasar,
sedangkan hal‑hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturan‑aturan
pokok itu harus diserahkan kepada Undang‑undang.
SISTIM PEMERINTAHAN NEGARA.
Sistim
pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang‑undang Dasar ialah :
I. Indonesia,
ialah negara yang berdasar atas Hukum
(Rechtsstaat).
1. Negara
Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (Machtsstaat).
II. Sistim Konstitusionil.
2. Pemerintahan
berdasar atas sistim konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas).
III. Kekuasaan Negara yang tertinggi ditangan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat, (Die gesammte Staatsgewalt liegt alle
in bei der Majelis).
3. Kedaulatan
rakyat dipegang oleh suatu Badan, bernama ,,Majelis Permusyawaratan
Rakyat" sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (Vertrettungsorgan des
Willens des Staatvolkes). Majelis ini menetapkan Undang‑undang Dasar dan
menetapkan garis‑garis besar haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala
Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden).
Majelis
inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus
menjalankan haluan Negara menurut garis‑garis besar yang telah ditetapkan
oleh Majelis.
Presiden
yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Ia ialah ,,mandataris" dari Majelis, ia berwajib menjalankan putusan‑putusan
Majelis.
Presiden
tidak ,,neben", akan tetapi ,,untergeordnet" kepada Majelis.
IV. Presiden ialah
penyelenggara Pemerintah Negara yang
tertinggi
dibawahnya Majelis.
Di bawah Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Presiden ialah penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi.
Dalam menjalankan pemerintahan
Negara, kekuasaan dan tanggung‑jawab adalah di tangan Presiden
(concentration of power and responsibility upon the President).
V. Presiden tidak
bertanggung‑jawab kepada Dewan
Perwakilan
Rakyat.
Di samping Presiden adalah Dewan
Perwakilan Rakyat, Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
untuk membentuk Undang‑undang (Gesetsgebuiig) dan untuk menetapkan
anggaran pendapatan dan belanja Negara ("Staatsbegrooting").
Oleh karena itu Presiden harus
bekerja bersama‑sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggung‑jawab
kepada "Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari pada
Dewan.
VI. Menteri Negara
ialah pembantu Presiden; Menteri Negara
tidak
bertanggung‑jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden
mengangkat dan memberhentikan Menteri‑menteri Negara, Menteri‑menteri
itu tidak bertanggung‑jawab.kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya
tidak tergantung dari pada Dewan, akan
tetapi tergantung dari pada Presiden. Mereka ialah pembantu Presiden.
VII. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun
Kepala Negara tidak bertanggung‑jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia
bukan "diktator" artinya kekuasaan tidak terbatas.
Di atas
telah ditegaskan, bahwa ia bertanggung‑jawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh‑sungguh
suara Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan
Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh
Presiden (berlainan dengan sistim parlementair). Kecuali itu anggota‑anggota
Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu Dewan Perwakilan Rakyat dapat
senantiasa mengawasi tindakan‑tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap
bahwa Presiden sungguh melanggar haluan Negara yang telah ditetapkan oleh
Undang‑undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka
Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta
pertanggungan‑jawab kepada Presiden.
Menteri‑menteri negara bukan pegawai tinggi biasa.
Meskipun
kedudukannya Menteri Negara tergantung dari pada Presiden, akan tetapi mereka
bukan pegawai tinggi biasa oleh karena Menteri‑menterilah yang terutama
menjalankan kekuasaan Pemerintah (pouvoir executief) dalam praktek.
Sebagai
pemimpin Departemen, Menteri mengetahui seluk‑beluk‑nya hal‑hal
yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu Menteri mempunyai
pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai
Departemennya. Memang yang dimaksudkan ialah, para Menteri itu Pemimpin‑pemimpin
Negara.
Untuk
menetapkan politik Pemerintah dan koordinasi dalam pemerintahan Negara para
Menteri bekerja bersama, satu sama lain seerat‑eratnya di bawah pimpinan
Presiden.
TENTANG
PASAL‑PASAL.
BAB
I.
BENTUK DAN KEDAULATAN NEGARA.
Pasal 1.
Menetapkan
bentuk negara kesatuan dan Republik, mengandung isi pokok pikiran kedaulatan
rakyat.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat, ialah penyelenggara negara yang tertinggi. Majelis ini
dianggap sebagai penjelmaan Rakyat, yang memegang kedaulatan Negara.
BAB II.
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2.
Maksudnya
ialah, supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai
wakil dalam Majelis, sehingga Majelis itu akan betul‑betul dapat dianggap
sebagai penjelmaan rakyat.
Yang disebut "golongan‑golongan", ialah badan‑badan
seperti koperasi Serikat Sekerja dan lain‑lain badan kolektif. Aturan
demikian memang sesuai dengan aliran zaman. Berhubung dengan anjuran mengadakan
sistim koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongan‑golongan
dalam badan‑badan ekonomi.
Ayat 2.
Badan yang akan besar jumlahnya bersidang sedikit‑dikitnya sekali dalam 5
tahun. Sedikit‑dikitnya, jadi kalau perlu dalam 5 tahun tentu boleh
bersidang lebih dari sekali dengan mengadakan persidangan istimewa.
Pasal 3.
Oleh
karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan Negara, maka
kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5
tahun. Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran‑aliran
pada waktu itu dan menentukan haluan‑haluan apa yang hendaknya dipakai
untuk di‑kemudian hari.
BAB III.
KEKUASAAN PEMERINTAH NEGARA.
Pasal 4 dan pasal 5 ayat 2.
Presiden
ialah Kepala Kekuasaan executif dalam Negara. Untuk menjalankan Undang‑undang,
ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah ("pouvoir
reglementair").
Pasal 5 ayat 1.
Kecuali
"executive power", Presiden bersama‑sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat menjalankan "legeslative power" dalam Negara.
Pasal‑pasal 6, 7, 8, 9.
Telah
jelas.
Pasal‑pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15.
Kekuasaan‑kekuasaan
Presiden dalam pasal‑pasal ini, ialah konsekwentie dari kedudukan
Presiden sebagai Kepala Negara.
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG.
Pasal 16.
Dewan
ini ialah sebuah Council of State yang berwajib memberi pertimbangan‑pertimbangan
kepada Pemerintah. Ia sebuah Badan Penasehat belaka.
BAB V.
KEMENTERIAN NEGARA.
Pasal 17.
Lihatlah
di atas.
BAB VI.
PEMERINTAHAN DAERAH.
Pasal 18.
I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu
,,eenheidsstaat", maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam
lingkungannya yang bersifat ,,Staat" juga.
Daerah
Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi
pula dalam daerah lebih kecil. Daerah‑daerah itu bersifat autonom (streek
‑ dan locale rechtsgemeenschappen atau bersifat administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang‑undang. Di
daerah‑daerah yang bersifat autonom akan diadakan badan perwakilan daerah
oleh karena didaerahpun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
II. Dalam territoir Negara Indonesia
terdapat ±250 ,,Zelfbesturende
landschappen" dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali,
negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah‑daerah
itu mempunyai susun asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa.
Negara
Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah‑daerah istimewa tersebut
dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingat hak‑hak
asal‑usul daerah tersebut.
BAB VII.
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT.
Pasal 12, 19, 20, 21 dan 23.
Lihatlah
di atas halaman ...............................
Dewan
ini harus memberi persetujuannya kepada tiap‑tiap rancangan Undang‑undang
dari Pemerintah. Pun Dewan mempunyai hak inisiatif untuk menetapkan Undang‑undang.
III. Dewan ini mempunyai juga hak begrooting pasal
23. Dengan ini, Dewan Perwakilan Rakyat mengontrol
Pemerintah. Harus diperingati pula
bahwa semua anggota Dewan ini merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
Pasal 22.
Pasal
ini mengenai "noodverordeningsrecht", Presiden. Aturan sebagai ini
memang perlu diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh
Pemerintah dalam keadaan yang genting" yang memaksa Pemerintah untuk
bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, Pemerintah tidak akan terlepas
dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah
dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan Undang‑undang harus
disyahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
BAB VIII.
HAL KEUANGAN.
Ayat 1
memuat hak Begrooting Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 23.
Ayat : 1, 2, 3, 4.
Cara
menetapkan anggaran pendapatan dan belanja adalah suatu ukuran bagi sifat
pemerintahan negara. Dalam negara yang berdasar fascisme, anggaran itu
ditetapkan semata‑mata oleh Pemerintah. Tetapi dalam negara demokrasi
atau dalam negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik
Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan Undang‑undang.
Artinya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Betapa
caranya Rakyat ‑ sebagai bangsa ‑ akan hidup dan dari mana
didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh Rakyat itu sendiri, dengan
perantaraan Dewan Perwakilannya.
Rakyat
menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya.
Pasal 23
menyatakan, bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan
Perwakilan Rakyat lebih kuat dari pada kedudukan Pemerintah. Ini tanda
kedaulatan Rakyat.
Oleh
karena penetapan belanja mengenai hak Rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri,
maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada Rakyat, sebagai pajak dan
lain‑lainnya, harus ditetapkan dengan Undang‑undang, yaitu dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Juga
tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang‑undang.
Ini penting karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya atas masyarakat. Uang
terutama ialah alat penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk
memudahkan pertukaran ‑ jual‑beli dalam masyarakat. Berhubung
dengan itu perlu ada macam dan rupa uang yang diperlukan oleh Rakyat. Sebagai
pengukur harga untuk dasar menetapkan harga masing‑masing barang yang
dipertukarkan. Barang yang menjadi pengukur harga itu, mestilah tetap harganya
jangan naik‑turun karena keadaan uang yang tidak teratur. Oleh karena itu
keadaan uang itu harus ditetapkan dengan Undang‑undang.
Berhubung
dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur
peredaran uang kertas, ditetapkan dengan Undang‑undang.
Ayat 5.
Cara
Pemerintah mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat harus sepadan dengan keputusan tersebut. Untuk memeriksa
tanggung‑jawab Pemerintah itu perlu ada suatu badan yang terlepas dari
pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada Pemerintah
tidak dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya badan itu bukanlah
pula badan yang berdiri di atas Pemerintah.
Sebab
itu kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan Undang‑undang.
BAB IX.
KEKUASAAN KEHAKIMAN.
Pasal 24 dan 25.
Kekuasaan
Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
Pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang‑undang
tentang kedudukannya para hakim.
BAB X.
WARGA NEGARA.
Pasal 26.
Ayat 1.
Orang‑orang
bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa dan peranakan
Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah
airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga‑negara.
Ayat 2.
Telah
jelas.
Pasal 27, 30, 31.
Ayat 1.
Pasal
ini mengenai hak‑haknya warga‑negara.
Pasal 28, 29.
Ayat 1, 34.
Pasal‑pasal
ini mengenai kedudukan penduduk.
Pasal‑pasal,
baik yang hanya mengenai warga‑negara maupun yang mengenai seluruh
penduduk memuat hasrat bangsa Indonesia untuk
membangunkan negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan
keadilan sosial dan peri‑kemanusiaan.
BAB
XI.
AGAMA.
Pasal
29 ayat 1.
Ayat ini menyatakan kepercayaan
bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
BAB XII.
PERTAHANAN NEGARA.
Pasal 30.
Telah
jelas.
BAB XIII.
PENDIDIKAN.
Pasal 31 Ayat 2.
Telah
jelas.
Kebudayaan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi‑daya Rakyat
Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan
lama dan asli yang terdapat sebagai puncak‑puncak kebudayaan di daerah‑daerah
diseluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan
harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak
bahan‑bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia.
BAB XIV.
KESEJAHTERAAN SOSIAL.
Pasal 33.
Dalam
pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota‑anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab
itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha
kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian
berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu cabang‑cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus
dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang
seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang
tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ditangan orang seorang.
Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok‑pokok
kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar‑besar kemakmuran rakyat.
Pasal 34.
Telah
cukup jelas lihat di atas.
BAB XV.
BENDERA DAN BAHASA.
Pasal 35.
Telah
jelas.
Pasal 36.
Telah
jelas. Di daerah‑daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara
oleh rakyatnya dengan baik‑baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura,
dsb.) bahasa‑bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.
Bahasa‑bahasa
itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
BAB XVI.
PERUBAHAN UNDANG‑UNDANG DASAR.
Pasal 37.
Telah
jelas.
Kutipan: LEMBARAN
NEGARA TAHUN 1959 YANG TELAH DICETAK ULANG